PENDAHULUAN
Alinea ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sebuah pernyataan religiositas bangsa Indonesia yang mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari adanya campur tangan Tuhan Yang Mahakuasa. Perjuangan hingga titik darah penghabisan untuk memperjuangkan kemerdekaan adalah hal yang patut disyukuri.
Memahami bahwa Indonesia merupakan suatu fenomena baru. Fenomena yang baru ada pada tanggal 17 Agustus 1945. Dikatakan baru karena sebelumnya belum pernah ada. Yang ada sebelumnya adalah fenomena Pra-Indonesia, dan kalau disadari fenomena itu, yang ada adalah berbagai bangsa yang baru memiliki tekad untuk menjadi satu bangsa lewat sumpah pemudanya tanggal 28 Oktober 1928. [1] Fenomena baru ini yang merupakan satu realitas dengan dua identitas. Identitas etnis dan identitas nasional. Identitas etnis, dimana orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya ( Jawa, Batak, bali, Dayak, Ambon,Papua), dan orang dari latar belakang agama dunia (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghuchu) bahkan agama suku (Kaharingan, Noaulu, dsb). Identitas nasional, dimana kebangsaan Indonesia, sesuatu yang baru pernah kita alami. [2]
Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juli 1945, pembahasan mengenai prinsip ketuhanan yang disampaikan Soekarno ialah “bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan”.[3] Konsep religiositas bangsa Indonesia telah menjadi pembahasan oleh founding father kita sejak Indonesia merdeka. Hal ini seharusnya menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan lebih mengembangkan kehidupan bersama sebagai satu bangsa yang merdeka.
Pada kenyataannya, persoalan agama dan kepercayaan menjadi masalah dalam kehidupan bangsa Indonesia. Persoalan yang sampai saat ini penting dan menjadi perhatian bersama bahwa Indonesia dalam konteks pluralisme agama membawa pada pertanyaan kritis apakah Negara sudah berlaku adil terhadap keberagaman agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia? Di mana, terlihat hanya lima agama dan kemudian menjadi enam agama resmi yang diakui. Sementara masih banyak kepercayaan lain yang dianut bangsa Indonesia sebagai bagian dari budaya yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Keenam agama tersebut merupakan agama luar bukan agama yang lahir dari kebudayaan bangsa Indonesia. Tanpa disadari hal ini merupakan masalah identitas bangsa yang seolah terlupakan oleh Negara. Bagaimana mewujudkan kebebasan beragama berdasarkan Pancasila dan UUD’45 yang pada kenyataannya kehidupan keberagaman masih kurang jelas dengan mengabaikan persoalan tersebut. Lebih lanjut akan dibahas pada bab pembahasan.
PEMBAHASAN
Kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru ada tangal 17 Agustus 1945 merupakan bangsa yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menyadari sungguh bahwa kemerdekaan adalah rahmat Tuhan melalui perjuangan bangsa Indonesia.
Realitas menunjukan masyarakat Indonesia memiliki agama dan kepercayaan yang beragam. Keragaman ini terlihat dengan adanya lima agama besar yang diakui oleh pemerintah (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Buddha) dan kemudian satu agama yang diakui lagi yaitu Konghucu. Bagaimana dengan kepercayaan-kepercayaan suku yang masih dianut oleh masyarakat Indonesia? Rupanya belum diakui oleh pemerintah. Pemerintah hanya memberi jaminan bagi enam agama resmi. Apakah sebagai suatu agama resmi yang diakui harus memiliki kriteria tertentu? Agama-agama yang diakui pemerintah bukanlah agama yang berasal dari budaya Indonesia melainkan agama-agama luar yang dibawah masuk dalam kehidupan bangsa Indonesia, sejak zaman kolonialisme. Agama-agama ini kemudian tumbuh dan berkembang bahkan dapat menggantikan keberadaan agama atau kepercayaan asli dari masyarakat Indonesia, walaupun tidak seluruh masyarakat Indonesia, melepasakan kepercayaan aslinya. Tetapi kenyataan saat ini, dimana agama atau kepercayaan asli masyarakat indonesia hampir punah khususnya di daerah-daerah perkotaan yang sangat metropolit, memberi bukti bahwa agama-agama luar yang resmi diakui di indonesia ini, begitu kuat berpengaruh membentuk identitas bahkan integrasi sosial bangsa Indonesia. Terkadang agama-agama resmi ini, berusaha untuk menghilangkan agama-agama asli Indonesia. Padahal seharusnya antara agama-agama resmi yang telah terlembaga di indonesia dengan agama-agama asli masyarakat indonesia, mesti ada komunikasi, kerja sama dan dialog yang etis. Karena itu, menurut saya ini adalah sebuah kenyataan yang tidak adil khususnya bagi agama/kepercayaan asli Indoneisa. Selain itu, negara Indonesia memiliki dasar yang kuat melalui ideologi bangsa yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang justru menjamin kebebasan setiap warga indonesia untuk menetukan kepercayaan dan agamanya masing-masing.
Kehidupan beragama di Indonesia secara konstitusional terdapat dalam rumusan Pancasila, Pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 28E UUD 1945
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, . . .
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai hati nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 29 UUD 1945 :
1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah sering terjadinya konflik antar kelompok di Indonesia. Kelompok-kelompok agama terutama agama mayoritas selalu berusaha untuk menjadikan ideologi agama mereka sebagai dasar dan ideologi negara. Pertanyaannya adalah apakah Pancasila tak lagi kuat untuk menjadi ideologi negara Indonesia sehingga Telah berkembang banyak wacana bahkan usaha untuk membentuk NII (Negara Islam Indonesia)? Apakah pancasila masih dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar etis bagi kehidupan beragama di indonesia?
Konsep Etika Global Hans Kung.
Sebelum memahami Pancasila sebagai konsep etik di indonesia, akan lebih baik jika terlebih dulu kita memahami pokok-pokok pikiran etik global Hans Kung. Dalam wacana mengenai “etik global” berawal dari ungkapan Hans Kung “Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama” [4] . bertolak dari pandangan bahwa perdamaian antaragama adalah prasyarat bagi perdamaian dunia, maka dalil ini melahirkan makna mendalam menyangkut hubungan antaragama. Kesatuan global dari umat manusia menyebabkan perlunya suatu dasar bersama yang memberi kaidah-kaidah etik guna membentuk masyarakat yang benar-benar manusiawi.
Pemikirannya kemudian menjadi milik bersama antaragama, dan menjadi bagian dari perkembangan kesadaran bagi agama-agama di seluruh dunia. pemikiran ini telah diadopsi menjadi semacam pengikat etis bagi pergaulan global agama-agama yang meliputi pergaulan seluruh sudut dunia.
Dalam bukunya Global Responsibility, Hans Kung mengungkapkan beberapa hal penting antara lain :
· Tidak ada lagi usaha dari satu agama untuk menyingkirkan agama-agama lain dengan strategi misi yang agresif, dan tidak ada lagi arogansi dan kemenangan yang menguasainya dari satu agama atas agama lain.
· Tidak ada usaha-usaha pengagungkan dalam cara yang lebih subtil oleh agama-agama lain dengan mentransendenkan diri mereka untuk mencapai penyatuan universal atau bahkan sinkretistik, dalam rangka menciptakan satu agama tunggal dunia yang berasal dari berbagai agama yang ada di seluruh dunia.
· Terwujudnya kehidupan yang saling berdampingan dan beriringan penuh rasa saling menghormati, dalam dialog dan kerja sama.
Konsep Hans Kung mengenai etik global tidak berarti ideologi global, tidak pula penyatuan agama secara global yang mengatasi semua agama yang ada, apalagi pencampuran semua agama. Etik global juga tidak mengganti etik luhur agama-agama yang ada dengan minimalisme etis. Etik global bermaksud untuk memberdayakan apa yang sudah lazim bagi agama-agama dunia saat ini, lepas dari perbedaan tingkah laku, nilai-nilai moral dan keyakinan dasar yang ada pada masing-masing tradisi.
Dengan kata lain, etik global tidak mereduksi agama-agama ke dalam minimalisme etis, melainkan menghadirkan batas minimal etik yang dimiliki bersama oleh semua agama dunia. Hal ini tidak berarti diarahkan untuk melawan siapa pun, namun mengundang mereka baik yang beriman maupun tidak, untuk menjadikan etik sebagai milik bersama dengan berbuat sesuai dengannya.
Prinsip-prinsip etika global dengan mengacu pada keadaan Dunia yang sedang mengalami krisis fundamental; krisis ekonomi, ekologi, dan politik yang terjadi secara global, tidak adanya visi dasar, kacaunya persoalan yang tak terpecahkan, kelumpuhan politik yang lemah dengan sedikit pandangan ke depan serta minimnya nilai rasa untuk kesejahteraan bersama nampaknya telah merata. Ratusan juta manusia di planet kita semakin menderita karena pengangguran, kemiskinan, kelaparan, dan penghancuran keluarga mereka. Harapan adanya perdamaian abadi antar bangsa-bangsa sulit tercapai. Semakin banyak Negara terguncang karena korupsi politik maupun bisnis. Bumi ini terus digerogoti ancaman terhadap kehidupan makhluknya. Belum lagi para pemimpin agama-agama menghasut penyerangan, fanatisme, kebencian dan senofobia bahkan menyebabkan dan melegitimasi kekerasan dan konflik berdarah. Agama sering disalahgunakan untuk tujuan kekuasaan politik, termasuk perang.
Tidak ada tatanan global baru tanpa etik global baru. Semua manusia bertanggung jawab bagi terbentuknya tatanan global yang lebih baik, keterlibatan kita demi kepentingan hak asasi manusia, kebebasan, keadilan, perdamaian, dan pemeiharaan bumi sangat diperlukan, agama dan tradisi budaya yang berbeda tidak boleh menghalangi keterlibatan bersama dalam melawan semua bentuk dan kondisi yang tidak manusiawi dan bekerja untuk meningkatkan kemanusiaan, prinsip-prinsip yag dinyatakan dalam etik global ini dapat dibenarkan oleh semua orang yang memiliki keyakinan etis.
Pancasila : konsep etik kehidupan bersama bangsa Indonesia
Konsep Pancasila pertama kali dicetuskan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 melalui pidato yang disampaikan dalam sidang BPUPKI. Pidato yang kemudian menjadi amat terkenal dengan sebutan Lahirnya Pancasila.
Hal ini lahir dari perdebatan dari tiga kelompok ideologi yang kuat waktu itu, yaitu Nasionalisme : tradisionalisme Jawa, Islam : Islam Politik, Sosialisme: Marxisme. Ketiga ideologi ini bukanlah baru muncul pada rentan waktu Mei-Juni 1945 ketika para pendiri Negara ini bersidang untuk merumuskan dasar Negara, tetapi perkembangannya sudah terjadi jauh sebelumnya. Dimana, gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dikategorikan dalam ketiga ideologi itu, seperti yang tadi telah disebut. Sehingga terlihat ketika BPUPKI hendak membicarakan dasar Negara Indonesia yang akan diproklamasikan, tiap kelompok ideologis itu berusaha menjadikan dasar ideologis mereka sebagai dasar Negara. Oleh karena itu, dalam keadaan inilah, jalan keluar Soekarno menyatakan usul paancasilanya. [5]
Rumusan Pancasila Soekarno :
1) Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme)
2) Internasionalisme, atau peri kemanusiaan.
3) Mufakat atau demokrasi
4) Kesejahteraan Sosial, dan
5) Ketuhanan
Pancasila dan Indonesia ibarat satu mata uang, kedua sisinya tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya akan mengakibatkan tidak bermaknanya Pancasila dan Indonesia. Pancasila dalam hal ini adalah realitas ideal dari suatu kondisi material yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan keragaman sosial budayanya yang bernama Indonesia.[6]
Proses terjadinya Pancasila tidak seperti ideologi lain yang merupakan hasil pemikiran seseorang saja, tetapi melalui suatu proses kausalitas yang mana sebelum disahkan menjadi dasar Negara nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup bangsa dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. disebut sebagai pandangan hidup agar merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya.
Nilai-nilai Pancasila yang merupakan hasil pemikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Para pendiri bangsa menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberi corak, watak dan ciri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakan dengan bangsa lain. kenyataan yang demikian ini merupakan suatu kenyataan objektif yang merupakan jati diri bangsa Indonesia. [7]
Konsep etik kehidupan bersama bangsa Indonesia tercermin dalam Pancasila. Di mana dimensi kesatuan, persatuan dan kebersamaan, benar-benar ada dalam Pancasila untuk menyatukan berbagai suku, agama, golongan, budaya masyarakat Indonesia menjadi satu kesatuan bangsa.
Pasal 28E & 29 Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28E UUD 1945 menyatakan kebebasan setiap orang untuk memeluk agama masing-masing. Hal ini merupakan hak asasi manusia yang perlu dilindungi oleh pemerintah. Hak yang dimiliki setiap orang dalam kehidupannya sebagai manusia.
Pada pasal 29 UUD 1945 jelas adanya pengakuan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas ke-Tuhanan yang Maha Esa serta Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dalam membina dan mengembangkan kehidupan beragama, Negara tidak hanya menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing tetapi sekaligus menjamin, melindungi, membina dan mengarahkan agar kehidupan beragama lebih berkembang serasi dengan kebijakan pemerintah dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila.
Dalam semangat ini, Pancasila dengan nilai-nilai Ketuhanan dan kepercayaan, Persatuan, kekeluargaaan dan kebersamaa, keadilan serta kemanusia seharusnya dapat menjadi dasar dan landasan etis bagi kehidupan beragama di indonesia, yang sangat plural. Nilai-nilai pancasila yang merupakan internalisasi dari UUD 1945 dan merupakan ideologi yang lahir dari kelokalan atau konteks asli indonesia, harusnya mampu menjembatani, menjadi falsafah etis, bagi berbagai agama di indonesia, baik agama-agama resmi maupun agama-agama asli yang belum secara resmi di akui oleh pemerintah serta menjadi sebuah dasar etik bagi dialog antar agama, Baik di Indonesia maupun di tingkat dunia.
PENUTUP
Kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru ada tangal 17 Agustus 1945 merupakan bangsa yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menyadari sungguh bahwa kemerdekaan adalah rahmat Tuhan melalui perjuangan bangsa Indonesia. Kehidupan beragama di Indonesia telah jelas dimuat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 28E dan pasal 29). Kebebasan beragama merupakan hak asasi setiap manusia dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing sehingga tidak hanya agama resmi yang diakui oleh pemerintah tetapi juga agama dan kepercayaan suku yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar Saafroedin, Nanie Hudawati (Penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI Jakarta: Sekertariat Negara Republik Indonesia, 1998
Kung Hans, Etik Global Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
_________, Global Responsibility :Crossroad New York, 1990.
Kaelan H, Filsafat Pancasila ; Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Paradigma, Yogjakarta, 2002.
Titaley John, Kumpulan Artikel 1, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
__________ Materi kuliah Indonesia Menurut Indonesia tanggal 12 Januari 2011 Salatiga: Pascasarjana Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana.
Yawangoe A.A , Agama dan Kerukunan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
[1] John Titaley, Kumpulan Artikel 1, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 4
[2] Ibid, disampaikan pada kuliah Indonesia Menurut Indonesia tanggal 12 Januari 2011 (Salatiga: Pascasarjana Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana)
[3] Saafroedin Bahar, Nanie Hudawati (Penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (Jakarta: Sekertariat Negara Republik Indonesia, 1998), 101.
[4] Hans Kung, Etik Global (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), xvii
[5] Bnd Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI…, bnd Buku Meretas jalan Teologi Agama-agama di Indonesia dalam tulisan John Titaley.
[6] John Titaley, Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia, Meretes jalan teologi Agama-agama di Indonesia.( Jakarta : Gunung Mulia, 2007), 202.
[7] H.Kaelan, Filsafat Pancasila ; Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Paradigma, 2002), 47-48.
NB : Tulisan ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari teman kuliah saya Sdri. Agnes Lokollo, yang sengaja saya posting dalam blog saya. tulisan ini merupakan hasil pengamatan-nya terhadap realita kehidupan beragama di indonesia, yang penuh dengan keprihatinan dan diskriminasi sekaligus hasil refleksinya dalam mata kuliah kebebasan beragama & Pancasila dan agama sipil.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.