Facebook/jalvins solissa
Twitter/jalvins solissa or @ jalvhinss
yahoo/svinzho

Jumat, 22 Juli 2011

Bagaimana menjadi seorang Kristen? (sebuah refleksi etika sosial)

Judul tulisan ini bagi saya menantang sekaligus menarik. Menantang karena membuat saya terus berpikir keras tentang bagaimana saya yang sejak dari dalam kandungan telah menjadi Kristen harus mampu memaknai kekristenan saya dan hidup sebagai seorang kristiani di tengah-tengah pluralitas dunia ini dan menarik karena tulisan ini adalah hasil refleksi pribadi saya setelah sekian lama selalu mencoba memaknai makna kekristenan yang menempel pada kehidupan saya. Oleh karena itu, Saya akan memulai tulisan singkat ini dengan beberapa kisah nyata tentang kehidupan beragama dari banyak masyarakat di sebagian besar indonesia ini.
·         Indonesia adalah sebuah negara yang menjamin akan adanya kebebasan beragama dan kepercayaan bagi seluruh masyarakat. Jaminan ini bahkan diperkuat dengan adanya UUD yang mengaturnya. Pada kenyataannya, justru kebebasan beragama sangat sulit dilakukan bahkan yang justru terjadi adalah kekerasan bagi  para penganut agama minoritas. Di daerah barat indonesia seperti sumatera dna jawa, agama Kristen, hindu dan Buddha sulit betumbuh dengan baik. Apalagi agama Kristen, Injin untuk mendirikan bangunana ibadah saja sangat sulit di dapat. Sebaliknya di daerah timur indonesia, kalangan silam yang justru mendapat hasil yang kebalikan, walau memang tidak separah yang terjadi di Jawa dan yang dialami oleh orang Kristen.
·         Dunia pendidikan dan politik di indonesia sering juga diwarnai dengan istilah islam dan Kristen, minoritas dan mayoritas. Dunia pendidikan misalnya, akses untuk adil dan jujur sulit untuk didapat. Orang semakin egois karena berpikir bahwa mereka adalah mayoritas dan mereka dominan. Kasus yang menimpa UNPATTI, salah satu universitas di Maluku adalah contoh terhangat dari masalah ini. bagaimana tidak bukan kejujuran karena prestasi tetapi pemaksaan dengan tujuan politis yang dikedepankan akibatnya lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi asset bangsa justru dibumi hanguskan. Dalam dunia politik, perda-perda yang dibuat di hamper sebagian besar wilayah indonesia snagat mendiskriminasikan kelompok minoritas.

Pertanyaannya apakah ini wujud negara hukum yang menjadmin kebebasan beragama bagi semua warganya? Kadang kala, kita orang Kristen terjebak dalam politisasi seperti ini, akhirna tak tau untuk melakukan apa demi mempertahankan harkatnya. Kita terjebak sesungguhnya dalam sikap “berteologi kolonialisme”, yang begitu mempertahankan superioritas agama kita di atas kemanusiaan. Akibatnya ketika ada kelompok dari agama lain mendiskriminasikan kita maka kitapun akan berupaya untuk membalaskannya. Kita orang indonesia dan terutama orang Kristen, sebenarnya gagal membangun identitas diri kita dari falsafah pancasila yang justru menjamin adanya kekuatan kesatuan dalam banyak perbedaan.
Bagi orang Kristen, seharusnya tidak boleh ada pemisahan antara kehidupan dalam dunia sakral dengan dunia sekuler, antara kehidupan dengan sesama orang Kristen dengan kehidupan dengan orang-orang yang beragama lain, antara membangun relasi dengan orang-orang kaya dan pemerintah dengan relasi bersama orang miskin dan rakyat jelata. Seorang kristen ketika mengenal Tuhan dan menerima Yesus sebagai Juruselamat, dia juga dipanggil untuk menerima perannya sebagai garam dan terang bagi dunia di sekitar dirinya berada. Bahwa membangun hidup bersama dan menjadi bermakna bagi orang lain yang berada di sekitarnya adalah merupakan tugas dan tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh semua orang yang menyebut dirinya Kristen.
Pemanggilan Tuhan kepada orang-orang percaya adalah panggilan yang bermuatan tanggungjawab dimana orang-orang percaya terpanggil untuk memberitakan perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan Tuhan kepada dunia ini. Dalam rangka tugas panggilan tersebut di tengah-tengah gereja dirumuskan Tri Tugas Panggilan Gereja, yaitu: Persekutuan (Koinonia), Kesaksian (Marturia) dan Pelayanan (Diakonia). Ketiga tugas panggilan gereja ini melekat di dalam diri orang-orang percaya. Untuk melaksanakan tiga tugas panggilan gereja tersebut, kepada orang-orang percaya diberikan karunia-karunia atau talenta sesuai dengan pemberian Roh. Semua karunia atau talenta tersebut sama pentingnya, tidak ada satupun diantara karunia itu lebih penting dan lebih utama dari yang lainnya, tetapi semuanya sama-sama penting dalam rangka pembangunan Tubuh Kristus, yaitu jemaat. Dengan karunia atau talenta yang dimilikinya, gereja dan orang-orang percaya memainkan peranannya menjadi terang dan garam di tengah-tengah dunia ini. Kehadiran gereja dan orang-orang percaya harus membawa perobahan ke arah yang lebih baik, mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya, membawa damai sejahtera dan sukacita serta memberikan alternatif kehidupan yang lebih baik kepada orang-orang yang Tuhan tempatkan disekitarnya. Dengan begini maka orang-orang Kristen yang merupakan bagian dari  kerajaan Allah, haruslah menjadi komunitas yang pro kemanusian, komunitas yang berjuang dan mengusahakan perdamaian dan kesetaraan hidup bagi seluruh umat manusia, apapun sukunya, apapun bahasanya, apapun agama dan kepercayaannya. Tidak boleh ada perbedaan, karena yang terpenting adalah jaminan bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Dalam realitas atau konteks hidup di masa kini, terdapat berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang menimpa umat manusia. Berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan ini, dapat dilakukan oleh siapapun dan dari agama manapun, dan kepada siapapun : baik itu dari rakyat kecil, kaum menengah juga orang kaya, para pemuka agama (pendeta, pastor, ustad) dan pemerintah, juga oleh negera-negara adidaya dan berkuasa, oleh orang-orang yang beragama islam, katolik bahkan protestant. Beberapa contohnya masalah ketidakadilan dan kekerasan yang melanggar kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia antara lain seperti : kemiskinan, kekerasan dalam Rumah tangga terutama kepada istri (perempuan) dan anak, pembakaran tempat-tempat ibadah, pembunuhan, HAM, diskriminasi ras dan agama (termasuk kebebasan beragama), kekerasan terhadap kaum buruh dan lainnya. Sebagai seorang Kristen, seharusnya kita menjadi agen-agen kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan solidaritas hidup bersama. Nilai-nilai hidup ini, bukan hanya ada ketika kita sedang melakukan ibadah-ibadah kita di gereja pada hari minggu atau saat kita sedang berkumpul bersama orang-orang Kristen yang lain, tetapi juga pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu di mana kita berjumpa dan berinteraksi dengan banyak orang, baik Kristen maupun Islam, hindu, buddha dan konghucu; baik orang kaya, orang miskin, rakyat jelata, kaum pemerintah, kaum pengusaha, para buruh, pedagang kecil, anak-anaka sampai orang tua.
Ini merupakan point penting seorang Kristen oleh karena Kisah Kristen kita, sebaiknya didasarkan pada ontologi perdamaian yang diciptakan oleh Tuhan, yang dengan mudah dapat membentuk dunia syalom, dunia yang penuh kedamaian. Meskipun jalan memutar merusak kebanggaan manusia dan dominasi, kota surgawi Allah membawa 'pembebasan dari dominium politik, ekonomi, dan psikis'. Ini meresmikan berbagai jenis komunitas politik bagi para peziarah mencari perlindungan dari dosa dan kekerasan, mengingat para korban, menunjukkan kepedulian yang sama bagi semua warga negara dan mendamaikan musuh.[1] Kita hanya bisa bergerak maju ke milenium berikutnya jika kita terbuka untuk melawan kekerasan dan ketidakadilan dalam perjalanan sejarah hidup kita. Orang-orang Kristen harus menjadi orang-orang terbuka yang memiliki kepedulian terhadap orang lain  di sekitarnya tanpa perbedaan. Yang dapat melakukan ketidakdilan tanpa membedakan antara perempuan dan laki-laki, antara kaya dan miskin, antara islam dan Kristen, antara tua dan muda, dan sebagainya. Kepedulian terhadap kehidupan orang lain yang tertindas semacam inilah, yang harus dilihat sebagai sebuah tugas dan tanggung jawab yang besar serta panggilan kehidupan sebagai seorang Kristen. Karena gereja seperti kata Hauerwas, tidak memiliki tapi adalah etika sosial, polis alternatif.[2] Artinya gereja ada bukan untuk menghimpun orang menjadi miliknya, masuk dalam kepunyaannya, tetapi gereja merupakan wadah berbagi kasih semua umat manusia.
Bagi saya, Panggilan kekristenan kita bukanlah untuk mengkristenkan orang lain supaya menjadi percaya kepada kristus dan menerima iman Kristen tetapi panggilan kekristenan kita adalah  panggilan kemanusiaan yakni kepedulian kepada hidup orang lain, terutama orang-orang yang terpinggirkan, yang termarjinalisasi dalam kehidupannya. Teladan Yesus adalah teladan kemanusiaan, teladan kepedulian, teladan keadilan dan teladan kesetaraan. Teladan seperti ini, tidak berkiblat pada perbedaan tetapi persamaan hak sebagai manusia, dengan begitu maka panggilan kekristenan kita juga tidak harus memandang kepada siapa kita mengusahakan keadilan dan kesetaraan atau bagi komunitas agama mana kita memperjuangkan kemanusiaan.


[1] Dr. Gordon Preece, social Ethics, hlm 29
[2] Ibid, hlm 35

Kamis, 21 Juli 2011

Antara Konsep Agama di Cina dan Barat

Konsep Agama di Cina dan Barat
Vincent Goossaert


Pertanyaan agama di cina tidak terbatas pada ketegangan kontemporer antara gereja Katolik dan Protestan dan rezim Beijing, penindasan yang diderita oleh Buddha Tibet atau Muslim Uighur dan masalah yang terkait dengan apa yang disebut gerakan sektarian. Meskipun masalah ini sangat penting dan layak kepentingan dalam diri mereka sendiri, mereka harus dipahami dalam konteks yang lebih luas yang mengambil dalam totalitas realitas agama di cina, termasuk mereka yang kita di Barat tidak melihat karena mereka berada di luar representasi kita tentang apa religius. Selanjutnya, pertanyaan religius kontemporer mengasumsikan makna hanya jika kita mempertimbangkan semua perjuangan antara negara Cina dan struktur keagamaan masyarakat sejak akhir abad ke-19.Dalam publikasi lain saya dalam sketsa sejarah modern hubungan antara negara Cina dan struktur keagamaan masyarakat. Di sini saya ingin menunjukkan pentingnya konsep agama itu sendiri dan dari kontroversi di sekitarnya dalam sejarah hubungan-hubungan yang saling bertentangan. Kita akan melihat bahwa konsep-konsep seperti agama, yang digunakan dalam ilmu-ilmu humaniora dan sosial memiliki konsekuensi yang jauh melampaui dan konteks perdebatan akademik dan dapat membantu untuk memberi makan represi dan konflik sosial.

Agama struktur di Cina
Sebelum menjelaskan penggunaan konsep agama di cina, saya harus terlebih dahulu membuat sketsa konteks keagamaan yang diterapkan sekitar tahun 1900.Pada waktu itu (dan masih hari ini untuk tingkat tertentu) seluruh organisasi keagamaan Cina dapat dilihat sebagai sistem yang koheren, yang saya sebut agama Cina. Hal ini mencakup semua, tidak eksklusif. Ini mencakup semua bentuk praktik keagamaan, apakah pribadi (keselamatan teknik meditasi,, tubuh teknik termasuk seni bela diri, akses ke pengetahuan dan wahyu melalui kepemilikan dan menulis roh) atau kelompok (menyembah orang kudus lokal atau leluhur, ritual kematian), yang semuanya didasarkan pada kosmologi Cina. Ini mencakup Konfusianisme agama kuno, kurban, Taoisme dan Buddhisme, serta gerakan-gerakan sektarian yang terbentuk kemudian. Yang terus itu Bentuk yang paling umum adalah komunitas yang beribadah dengan kuil, yang didedikasikan untuk seorang kudus lokal: komunitas semacam ini tidak Konghucu, Buddha atau Tao, tetapi terkait dengan semua tiga. Agama Cina ada tetapi tidak memiliki nama karena tidak memiliki struktur gereja menyeluruh atau otoritas dogmatis. Ini membawa bersama semua bentuk kehidupan religius cina, dengan pengecualian agama tertentu asal luar negeri yang, karena mereka memerlukan keanggotaan eksklusif dan mengklaim monopoli kebenaran, tidak dapat dimasukkan: ini adalah tiga agama monoteisme, Islam, Yahudi dan Kristen .
Tiga bentuk dilembagakan agama Cina Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme.Mereka tepat didefinisikan oleh empat unsur: keimamatan, liturgi, suatu kanon (mendefinisikan ortodoksi) dan pendidikan pusat-biara, akademi (shuyuan) di mana kanon dipertahankan dan imam terlatih (dalam liturgi pada khususnya) dan ditahbiskan. Itu hanya di pusat-pusat yang kebingungan, Buddhisme dan Taoisme dalam arti yang ketat itu harus ditemukan. Oleh karena itu hanya orang-orang yang mengaku kebingungan, Tao dan Buddha adalah imam dan sejumlah orang awam yang erat diidentifikasi dengan tiga agama dan mengadopsi aturan-aturan hidup mereka. Tiga agama tidak menjadi bingung (sehingga tidak ada sinkretisme) tetapi dilihat sebagai sama pentingnya: mereka hidup berdampingan dan bekerja sama, dan berbagi beberapa nilai umum. sebagian besar orang Tionghoa berutang kesetiaan tidak tiga agama tetapi untuk beribadah masyarakat setempat, yang mereka milik entah kewajiban (komunitas berdasarkan lokalitas, keturunan atau guild profesional) atau secara sukarela (berbagai macam asosiasi yang saleh atau kelompok sektarian ). komunitas-komunitas yang berbeda umumnya digunakan layanan dari tiga jenis imam (kecuali untuk kelompok-kelompok sektarian, yang sering antiklerus) dan memanfaatkan besar dari tiga agama sumber daya simbolik, tekstual dan teologis. Milik beberapa komunitas religius dipandang sebagai positif karena mendorong kesalehan dan moralitas.
Konsep agama
Kesetiaan orang untuk tidak satu agama tetapi untuk masyarakat berbagai menyembah dalam sistem keagamaan yang pluralis jelas bertentangan dengan pengertian agama digunakan di Barat modern sebelum modernitas ditemukan sosiolog agama beberapa dekade lalu. Hal ini sangat baik diketahui bahwa adalah Cina, seperti di banyak bahasa lainnya, tidak ada setara yang tepat bagi agama konsep modern barat. Dalam sebuah neologisme cina, zongjiao, dibentuk, atau lebih tepatnya diadopsi dari Jepang, untuk menerjemahkan konsep barat agama sebagai suatu sistem terstruktur kepercayaan dan praktek, yang terpisah dari masyarakat, yang mengatur orang-orang percaya dalam gereja seperti organisasi.Dengan cepat menjadi bagian dari penggunaan dari tahun 1901, dan sejak itu telah mempertahankan bahwa akal, yang sekarang ketinggalan zaman dalam ilmu sosial agama di barat. Beberapa sejarawan ide telah melacak cara gagasan telah diterjemahkan, dipahami dan didiskusikan oleh para intelektual Cina. Namun, bagi saya sebagai sejarawan sosial, kedatangan ide barat agama tidak terbatas pada sebuah pertemuan intelektual antara Barat dan Cina, memikat sebagai pertemuan yang mungkin telah. Di tanah itu di atas semua alat ideologis yang kuat yang berbentuk dan termotivasi kebijakan brutal penghancuran dan penindasan.
Untuk meringkas proses yang kompleks, kita dapat mengatakan bahwa dengan mengadopsi konsep agama yang berdasarkan pada model Kristen dan gagasan komplementer takhayul (mixin), intelektual China membawa istirahat, radikal belum pernah terjadi sebelumnya di bidang keagamaan. Kecuali untuk beberapa pemikir minoritas sebelum munculnya komunisme, agama dianggap sebagai dapat diterima, sedangkan takhayul itu harus dikutuk. Dikotomi ini sangat berbeda dari yang tradisional yang mendiktekan kebijakan agama berhasil dinasti sampai akhir Qing (1644-1911). Yang kontras kultus dan masyarakat diakui sebagai ortodoks oleh negara dengan orang lain dipandang sebagai heterodoks. Gagasan agama dipahami sebagai arti entitas dengan peran positif untuk bermain dalam membangun negara bangsa dan membantu semen kesatuan spiritual dan nilai-nilai moral rakyat. Akibatnya, dan dalam meniru konstitusi Jepang dan barat, konstitusi berbagai Cina (diumumkan dari munculnya Republik pada tahun 1912 hingga sekarang) mengakui kebebasan beragama. Tapi ini kebebasan beragama dikurung dengan kondisi yang membatasi, khususnya batasan kepada agama-agama otentik saja, dengan dipisahkan dari takhayul bahwa Republik Cina, terutama dengan rezim Guomindang dari tahun 1927, dan orang-orang Republik Cina berkomitmen untuk memerangi dan menghapus.

Agama dan kebijakan agama.
Sebuah daftar lima agama (mereka semua agama dunia), yang diakui dan dilindungi oleh kebebasan beragama, cukup cepat didefinisikan di bawah republik dan tetap hari yang sama: Katolik, Protestan, Islam, Buddha dan Taoisme.Beberapa kelompok sektarian yang diakui antara 1912 dan 1949, dan lagi di Taiwan sejak tahun 1980-an, tetapi mereka semua masih dilarang di Republik Rakyat. Dimulai pada tahun 1898 dan sampai tahun 1920-an, upaya untuk mendefinisikan agama nasional berdasarkan Konfusianisme gagal dan intelektual Konghucu (cukup banyak yang menjadi Kristen) secara bertahap berubah ke arah reinventing tradisional mereka dalam istilah non-religius. Meskipun, sepanjang abad ke-20, lima agama besar harus menderita serangan kekerasan, kendala dan kehancuran, mereka juga mampu mempertahankan diri publik, mengatur ke asosiasi nasional hirarkis untuk bernegosiasi dengan pihak berwenang, dan setelah akhir Revolusi Kebudayaan mengambil pusat-pusat utama pendidikan mereka. Di sisi lain tidak ada organisasi negara yang disetujui diijinkan untuk datang menjadi ada untuk membela ratusan ribu kuil-kuil lokal dan asosiasi kultus. Itu logis, karena kultus lokal adalah situs di mana struktur tradisional dan cukup otonom dari masyarakat lokal yang berakar negara modern ingin menghancurkan dalam rangka untuk mengambil alih sumber daya material dan simbolis.
Jadi dari 1912 dan masih hari ini, legislator dan administrator harus mengatasi tugas yang kompleks: memisahkan agama dari takhayul, sebuah bisnis yang sulit dalam ide-ide tersebut tidak sesuai dengan setiap kategori ketat Cina, tapi satu yang penting karena dalam kebijakan agama determinate dari tanah, mengizinkan atau melarang festival dan ritual, melindungi atau menghancurkan kuil. Para ahli kadang-kadang dipanggil oleh pemerintah untuk membantu dalam pekerjaan ini, dan masih hari ini merupakan bagian dari fungsi peneliti dalam ilmu agama di Republik Rakyat. Titik tinggi dalam pengambilalihan wacana ilmiah oleh kebijakan negara agama dicapai pada bulan November 1928 dengan aturan untuk memutuskan apakah kuil yang diawetkan atau hancur. Teks ini panjang, yang dimaksudkan untuk menjadi studi ilmiah tentang bentuk-bentuk hidup religius, menyediakan kriteria dan daftar contoh untuk kedua kategori, untuk dipertahankan dan harus dihancurkan. Agama-agama otentik (khususnya bentuk murni Buddhisme dan Taoisme) dan kuil-kuil yang didedikasikan untuk pahlawan peradaban Cina, Konfusius antara mereka, itu harus dilestarikan; sisanya harus dihancurkan.Perbedaan ini ternyata tidak mungkin untuk menerapkan di lapangan, terutama dalam kasus Taoisme, yang tak terpisahkan berhubungan dengan kultus lokal. Tapi sejak itu wacana publik dan publikasi dari peneliti dan Taoisme, bahkan yang paling ilmiah di antara mereka, telah peduli dengan masalah ini membakar: menggambar garis pemisah, yang terus bergeser sesuai dengan konteks politik, antara Taoisme asli dan takhayul.
Konsekuensi paling signifikan dari proses pemurnian yang bertujuan untuk memisahkan lima yang disetujui dari takhayul (yaitu, dasar dari agama Cina) adalah bahwa sebagian besar masyarakat menyembah orang kudus lokal di desa atau lingkungan kuil tidak diberi semua perlindungan hukum, dan kuil-kuil mereka disita dan diubah menjadi sekolah-sekolah, kantor polisi, garnisun, dll kehidupan keagamaan kuil-kuil, yang ditemukan kembali oleh para pengamat dari tahun 1960-an (di Taiwan, Hong Kong dan diaspora, kemudian di Cina sendiri dari tahun 1980-an ), hari ini fokus perhatian peneliti. Semacam rehabilitasi kultus lokal terjadi di bawah judul agama rakyat, agama rakyat atau minjian Xinyang (keyakinan harfiah populer). Namun, meskipun label-label ini membantu kita untuk menyadari bahwa lingkungan agama Cina tidak terbatas pada lima agama yang disetujui bersama-sama dengan kelompok-kelompok sektarian, mereka tetap mengkonfirmasi proses yang telah berlangsung selama satu abad dengan tujuan memisahkan agama dari takhayul; oleh menciptakan sebuah kategori baru hibrida agama populer untuk menggantikan massa takhayul, kita lupa kesatuan mendasar dari praktek agama Cina dan representasi, di mana kultus lokal dan institusi Tao, Buddha dan Konghucu semua memiliki saham.
Efek lain dari kebijakan agama diterapkan untuk abad oleh rezim berhasil adalah pengenalan dan penggunaan ide baru, bahwa orang percaya (xintu, neologisme yang lain). Penggunaan iman sebagai kriteria milik datang dengan adopsi konsep agama, tetapi terlalu sakit-disesuaikan dengan konteks agama Cina. Statistik kemudian republik rezim komunis berusaha untuk mengumpulkan ditujukan memperkirakan jumlah orang percaya, namun angka yang bersangkutan dicatat dan diumumkan pada dasarnya anggota o asosiasi lima agama yang disetujui. Dalam kasus Buddhisme dan Taoisme asosiasi tidak merekrut lebih jauh para imam (kita harus ingat bahwa anggota tradisional hanya imamat baik menganggap diri mereka sebagai Tao atau Buddha), dengan hasil bahwa angka untuk percaya pada kenyataannya hanya mewakili sebagian kecil dari populasi mengambil bagian dalam kegiatan Buddhis atau Tao lembaga. Hari ini tujuan dari angka resmi yang dikeluarkan oleh republik Rakyat sedikit lebih dari seratus juta orang percaya, dari populasi diperkirakan lebih dari satu miliar tiga ratus juta orang, adalah di atas semua untuk menunjukkan bahwa agama adalah kegiatan minoritas di Cina . Kita tidak harus dalam melewati bahwa statistik di seluruh dunia pada agama-agama yang berharga selama kasus Cina tidak serius diperhitungkan.
Jadi kita dapat melihat bahwa konsep yang tidak terpisahkan dari agama dan takhayul menimbulkan debat, dan banyak teks menyarankan interpretasi yang berbeda-beda. Tetapi penting untuk memahami bahwa debat ini tidak terbatas pada lingkaran intelektual atau pengakuan tetapi politik: fakta sederhana pelabelan kelompok agama melegitimasi hal itu. Pengecualian adalah kelompok sektarian yang karakter agama diakui tetapi yang setuju: yang dalam bahasa Cina disebut minjian zongjiao, agama secara harfiah populer (harus dibedakan dari kultus lokal, yang Barat akan cadangan ini label agama populer). Adapun kultus lokal, mereka dijelaskan menggunakan istilah kita akan menterjemahkannya sebagai cerita rakyat atau seni populer dan tradisi. Untuk matahari sampai, kebijakan agama di satu sisi untuk mengurangi bidang yang sah atau agama menggunakan pemikiran asing bagi realitas Cina, maka untuk memantau agama sehingga diakui. Pengamat Barat yang sensitif umum untuk pemantauan aspek kedua tapi kurang sehingga untuk pertama
Penciptaan kembali agama
Terlepas dari perannya membenarkan kebijakan represif, konsep agama memiliki dampak yang mendalam di Cina, seperti yang telah di banyak negara Asia, di komunitas agama yang telah dimasukkan itu dalam rangka untuk mendefinisikan kembali dan menemukan kembali diri mereka. Kita telah menyebutkan perdebatan antara intelektual Konghucu (yang saat ini mengamuk bahkan lebih keras) pada sifat agama atau perdebatan tradisi mereka yang memiliki relevansi hanya dalam kaitannya dengan perbedaan model Eropa agama dibandingkan dengan agama Cina. Adapun sebagai Buddhisme dan Taoisme yang bersangkutan, mereka memenuhi kriteria tertentu: sebuah doktrin yang didasarkan pada teks-teks spekulatif, sebuah organisasi yang terpisah dan terhindar oleh beberapa anti-langkah takhayul, tapi pada biaya menciptakan kembali diri mereka sampai batas tertentu, yang berarti memutuskan hubungan dengan konteks yang lebih luas dari agama Cina. Biarawan dan imam harus meninggalkan kuil-kuil lokal dimana mereka tinggal, berhenti mengambil bagian dalam festival lokal dan menarik diri ke biara-biara.
Dalam melakukan hal ini Buddhisme dan Taoisme dipaksa, dari awal 1900-an, untuk menciptakan sebuah wacana yang menggabungkan gagasan-gagasan barat agama dan lebih baru-baru sekularisasi dan modernitas agama. Mereka yang mengadopsi wacana ini saat ini diakui di kalangan akademis untuk pengakuan dan sejauh bahwa mereka telah membantu dalam ukuran besar agama mereka untuk bertahan dan diteruskan pada kondisi sulit. Namun demikian kita harus menyadari harga yang dibayarkan untuk perkembangan ini. Buddhis seperti Taixu (1890-1947) dan disiplin-Nya, serta, meskipun lebih diam-diam dan ragu-ragu, Tao seperti Chen Yingning (1880-1969), telah mencoba untuk membawa agama mereka ke sejalan dengan ilmu pengetahuan dan nasionalisme, mengarahkan ke arah tindakan dalam dunia ini dan menolak takhayul. Dalam pemikiran mereka, modernisasi disertai oleh kritik dan penolakan dari rakit seluruh praktik di mana para imam membantu masyarakat (khususnya dalam penyembuhan dan eksorsisme, upacara pemakaman) dan mengambil bagian dalam keluarga dan desa agama dan kehidupan budaya. Namun, perkembangan ini masih jauh dari yang dilakukan melalui menjadi kenyataan sehari-hari. Mana pun mereka bisa, Buddha dan Tao hari ini menemukan kembali kemudian tempat dalam masyarakat desa dan kultus nya.
Telah ada banyak pembicaraan di berbagai negara Asia dari Protestantization Buddhisme. Jadi, untuk beradaptasi menolak ritual dan menekankan perilaku spiritual, filosofis dan moral individu, menciptakan sebuah organisasi untuk kaum awam. Fakta bahwa jenis wacana modernis, dengan sindiran eksplisit untuk emulasi yang dibawa oleh kehadiran Kristen dan terutama Protestan, mendominasi wacana intelektual Budha dan Tao hari ini di cina tidak boleh membuat kita melupakan segala sesuatu yang menekan wacana, melewati atau bertujuan untuk membuang, keluar dari kedua keyakinan dan kebutuhan. Jenis wacana bernapas kehidupan baru ke dalam Buddhis tertentu atau Tao fundamentalisme (fundamentalisme sepenuhnya teoritis, damai dan murah hati, tentu saja), yang bertujuan untuk menentukan bentuk murni agama tercemar oleh kebiasaan luar atau praktek-praktek sosial. Kecenderungan fundamentalis telah dipaksa untuk mengambil kursi belakang dengan penggabungan Buddhisme dan Taoisme menjadi agama Cina setidaknya sejak abad ke-10, tapi selama satu abad telah diizinkan untuk diungkapkan sekali lagi, dalam keadaan keinginan untuk memiliki agama ada sebagai benar-benar entitas independen. Pada saat yang sama dilembagakan Taoisme dan Buddhisme sekarang harus menciptakan awam untuk diri mereka sendiri, dan tetapi tanpa kesulitan; kebetulan itu adalah penting bahwa keberhasilan yang paling jelas dalam mendapatkan berbaring organisasi untuk mengadopsi praktek-praktek khusus individu Budha dan Taoisme belum dicapai oleh Buddha dan Tao badan tetapi oleh asosiasi independen. Saya berpikir khususnya Ciji gongde hui, sebuah yayasan amal didirikan di Taiwan pada 1966 oleh seorang biarawati Budha, yang telah memberikan cukup, antara lain, untuk meletakkan praktik orang vegetarianisme (yang jarang terjadi sebelum tahun 1960-an). Melalui jenis organisasi ada perlahan-lahan sedang membangun sebuah awam Buddha terorganisir, tapi tanpa pengawasan lembaga Buddhis resmi, yang tetap badan yang bertanggung jawab untuk operasi internal dari imamat dan biara-biara.Mayoritas penduduk Cina percaya pada Buddha tapi tetap tidak ingin mengikuti aturan yang disarankan oleh pastor dan lembaga resmi.
Kasus kedua dari dampak langsung pada masyarakat Cina dari konsep agama adopsi oleh beberapa sejumlah besar kelompok sektarian yang telah sangat aktif di cina sejak setidaknya sejauh abad ke-15. Pada abad ke-19 kelompok tertentu, sambil terus link dengan eksklusif tradisi sektarian, pesan mesianis, anggota Bala Keselamatan, mengadopsi semangat-menulis, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi terus-menerus dengan dewa dan menerima wahyu, dan juga berkomitmen untuk bekerja amal. Selain itu, dalam dekade antara tahun 1910 dan 1930 mereka diasumsikan wacana tentang peradaban timur yang ditakdirkan untuk menyelamatkan manusia dari dampak negatif dari materialisme Barat. Dengan demikian mereka memiliki pesan keselamatan universal dan sintesis dari lima agama (dalam kasus mereka Buddhisme, Taoisme, Khonghucu, Kristen, Islam).Dan, karena mereka juga memiliki organisasi hierarkis seperti sebuah gereja, daftar terbaru dari anggota (yang berjumlah puluhan juta), sebuah doktrin dan teks pendiri jelas, dan tujuan sosial sangat ditekankan (kerja amal), mereka pas sekali bagian barat definisi agama dan diminta untuk disetujui sesuai, beberapa dari mereka menerima respon positif di bawah rezim nasionalis dan pendudukan Jepang perang,, respon yang ditarik oleh rezim komunis. Baru-baru ini pemerintah komunis berusaha untuk menyapu dalam gerakan-gerakan sektarian dengan menghapus bentuk agama mereka dalam konteks qigong, tetapi dipaksa untuk mengingkari persetujuan kelompok Qigong ketika mereka alami reassumed eksplisit karakter mereka sebagai agama.

Kesimpulan
Secara singkat ada tulisan ini dapat dilihat bahwa konsep agama di asia dan agama di barat memiliki perbedaan yang cukup besar terutama dalam bidang pluralism. Agama di cina sebelum kedatangan agama-agama barat benar-benar hidup dalam sebuah pluralitas yang didasarkan pada kosmologi cina. Bahwa agama Buddha, Tao dan Konghucu merupakan agama-agama yang ada di cina pada awalnya tetapi tidak menjadi agama negara melainkan melebur menjadi sebuah civil religion yang lebih dikenal sebagai agama tanpa nama, yang justru menerap nilai-nilai religiusitas yang kemudian berkolaborasi membentuk karakter hidup masyarakat cina. Setelah masuknya gama barat dan pengaruhnya, barulah paradigma agama di cina berubaha keraha yang lebih monotheisme dan terlembaga namun jauh dari solidaritas dan pluralitas bersama.

NB : tulisan ini merupakan ringkasan dari tugs presentasi sdri. AGnes Lokollo dalam mata kuliah "religius Freedom" pada PPS Magister Sosio Agama UKSW.