Facebook/jalvins solissa
Twitter/jalvins solissa or @ jalvhinss
yahoo/svinzho

Jumat, 17 Desember 2010

“BERKAT VS KUTUK” (Kajian Sosio-Historis dalam prespektif Yahwist)


[ Kejadian 12 : 3 )

Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapatkan berkat (Kejadian 12:3)

Pendahuluan

Kualitas hidup setiap manusia masa sekarang sangat ditentukan oleh sejarah masa lalu dimana manusia tersebut mengacu. Setiap prilaku manusia pada saat ini biasanya ditelusuri dari pengalaman hidup pada orang tersebut atau pendahulunya. Asumsi kecil inilah yang mendorong penulis untuk mencoba merefleksikan pengalaman dan prilaku kekristenan saat ini dengan merujuk acuan pengalaman masa lalu—dalam hal ini pengalaman Israel Alkitab[2].
            Salah satu persoalan yang menjadi perhatian kita sekarang adalah munculnya pemahaman kafir dan berkat (baca: eksklusicvisme)[3] pada kehidupan beragama masa kini. Implikasi konsep ini telah membawa manusia beragama menuju pada agama yang patologis. Agama yang hanya menempatkan pusat keselamatan pada dirinya, sedangkan umat yang lain dianggap sebagai “yang lain.” Sehingga menindas dan membunuh umat yang lain untuk kepentingan eksistensi agamanya dianggap sebagai sebuah tindakan yang legal.
Jika kita meneropong konflik-konflik di Indonesia—sekalipun sarat kepentingan politik didalamnya—namun tidak dapat dipungkiri bahwa agama masih menjadi ‘idola’ untuk dijadikan tameng idelogis untuk menghancurkan kekuatan politik lainnya atau kepentingan golongan tertentu. Itu sebabnya studi yang penulis buat hanyalah semata-mata untuk menunjukan kepada kita bersama untuk menjadi lebih dewasa dalam melaksanan kehidupan beragama di Indonesia dan tidak hanya mencontohi begitu saja apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita.
            Dalam memahami persoalan ini maka penulis akan menguraikan pemahaman konsep eksklusifitas Israel Alkitab sebagi peletak dasar, khususnya dalam Kejadian 12: 3.
 
Sepintas Tentang Alkitab Israel.
Proses penulisan Alkitab yang sekarang telah terbukukan (dikanonisasi) dalam bentuk yang ’final’ seperti yang anda miliki telah mengalami proses pengemblengan  yang panjang. Proses penulisan kitab-kitab, khususnya Pentateukh yang terdapat dalam Alkitab telah berlangsung dalam kurun waktu ± memakan seribuan Para ahli menemukan bahwa kitab Taurat tersusun menjadi satu bentuk kitab sebagaimana yang ada sekarang merupakan saduran manuskrip yang berasal dari 4 (empat) tradisi dan konteks yang berbeda, yaitu Jahwist "J", Elohist "E", Deuteronomi "D" dan Pristley "P". Tahap pertama diawali oleh Daud yang kemudian disebut sebagai sumber Jahwist (J) yang berkepentingan untuk melegitimasi kerajaan Israel bersatu yang pada saat itu baru dibentuk, kemudian pecah, lalu masuk pada tahap berikut yaitu sumber Elohist (E) yang mencoba untuk meluruskan cerita legitimasi J dalam kebutuhan pemerintahan Yeroberam dalam kerajaan Israel Utara, selanjutnya Deutoreronomis (D) tulisan tersendiri yang terdapat dalam kitab Ulangan dan Raja-rajayang memimpinkan kehidupan yang sejartera pasca kejatuhan Yehuda. Dan pada tahap akhir sampai pada sumber Priestly (P) yang menjadi editor terakhir. Menurut Coote dan Ord, J merupakan sumber tertua, J juga menjadi dasar bagi E dan P.[4]
Penulisan makalah hanya membatasi pada sumber J. Sumber J digali lebih dalam oleh penulis karena dari sumber J kita dapat memahami secara jelas dalam konteks apakah Kejadian 12:3 ditulis.[5]

Sumber Jahwist
Tradisi sejarah sumber Jahewist, selanjutnya disingkat “J” berasal dari tradisi suku yang berpindah-pindah dengan tendanya dan bekerja mengembalakan ternak di daerah palestina dekat wilayah Mesir. Orang yang sama yang belakangan diketahui sering dinamai sebagai orang Badui (Bedouin: bangsa pengembara di padang Arab; bukan kelompok yang ada di Indonesia saat ini) orang-orang inilah yang melarikan diri dari tanah perbudakan di Mesir yang kemudian menggabungkan diri dalam suatu revolusi sosio-religius kenfedersi suku-suku penyembah Yahweh di Kanaan.
Cerita ini dimulai pada penghujung abad ke-11, yaitu kepala suku Benyamin, Saul mengklaim hak istimewa kerajaan sebagai kepala komando angkatan bersenjata Israel, namun kemudian orang Filistin bergabung menghancurkannya dan hanya tinggal daerah Palestina yang kemudian terbagi atas dua wilayah, yaitu bagian utara dipegang oleh anak Saul bernama Isyboset (Ishbaal=yang dikaitkan dengan kultus baal), dan bagian selatan (Yehuda) di pegang oleh Daud anak Isai dari Betlehem.[6]
Dengan penuh ambisi, Daud (960 SZB) di Selatan harus bekerja keras untuk mendapatkan legetimasi yang kuat dalam menguasai seluruh daerah Palestina termaksud wilayah Saul di Utara. Manuver yang dilakukan oleh Daud untuk menunjang kesuksesan kekuasaannya adalah dengan jalan propaganda, mempromosikan kesusteraan serta melegitimasi kepemimpinannya dalam literatur dan ritual. Cikal bakal terbentuknya kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab kita sekarang ini tanpa sadar adalah juga merupakan bagian dari konspirasi Daud terhadap kelangsungan kerajaannya sendiri. Konspirasi ini bisa dilihat pada catatan pengulingan wangsa Saul yang ada dalam I Sam  15 – II Sam 5;  II Sam 21:1-14 dan II Sam 9; II Sam 13-20; I Sam 4-6 dan II Sam 6. Cerita-cerita ini mengambarkan Daud sebagai figur yang diinginkan Yahweh.
Selain itu, dalam upaya mempertahankan eksistensi kejaraannya yang baru saja terbentuk, dan dalam upaya mempersatukan kerajaan Israel, serta melawan musuh utama mereka yaitu negara adi-kuasa Mesir, maka Daud dengan segala kekuatan dan kekuasaannya mengembangkan cerita-cerita dan dari formulasi-formulasi cerita yang mendukung keberlangsungan istana Daud.
Isi dan tujuan dari penulisan J adalah menghadirkan cerita-cerita epik tentang perjalanan Israel keluar dari Mesir akibat perbudakan yang mereka alami. Cerita ini bertujuan untuk menyatukan orang Palestina yang sebelumnya hidup dalam konfederasi suku-suku dan berhadapan dengan Mesir sebagai ancaman utama bagi mereka. Dengan menulis kisah Eksodus bangsa Israel menuju tanah perjanjian Kanaan sebagai inti dari cerita sumber J, maka sebenarnya editor J hanya berusaha untuk menciptakan rasa sebangsa dan setanah air dan menjadi perekat bagi negara Israel yang baru saja terbentuk.[7] Karena cerita Eksodus ini merupakan inti dari seluruh cerita-cerita dalam J, maka seluruh cerita dalam J harus dipahami dalam hubungannya dengan cerita tersebut. Selain tema utama tersebut, terdapat tema-tema lain yang diangkat dengan tujuan untuk mendukung legitimasi Daud atas kerajaan yang baru dibentuknya. Beberapa tema tersebut antara lain, cerita para leluhur bersama, seperti Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, cerita-cerita para leluhur ini juga dikembangkan dengan tujuan untuk menyatukan Palestina yang masih terpisah-pisah dan melawan Mesir. Cerita konflik antara saudara yang terdapat dalam cerita Kain dan Habel, Esau dan Yakub, Yusuf dan kesebelas saudaranya. Cerita tentang  tema-tema kemenangan saudara yang lebih muda terhadap saudara yang tua. Dan cerita mengenai kehidupan para gembala nomad yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ini dapat ditemukan dalam cerita-cerita Bapa Leluhur Israel dan cerita tentang Musa. Padahal sebagian besar penduduk di Palestina (85 %) di mana sumber ini ditulis adalah petani yang hidup menetap di perkampungan untuk menggarap tanah. Coote dan Ord mencatat dua alasan untuk hal ini.[8] Pertama, para penguasa yang memerintah para petani tersebut memahami diri mereka sebagai pewaris dari para gembala. Para gembala tersebut telah berhasil menguasai daerah pegunungan Palestina, satu dua abad sebelum munculnya Raja Daud. Dalam tradisi gembala, dihadirkan kisah tentang para leluhur Israel yaitu Abram, Ishak, Yakub, dan Yusuf, juga kisah tentang Musa. Sekalipun digambarkan bahwa para leluhur tersebut hidup dalam zaman jauh sebelum kerajaan Bersatu terbentuk, mereka sebenarnya adalah para kepala suku yang hidup sezaman dengan Daud dengan menggunakan nama yang umum dipakai untuk menamai seorang tokoh dalam sebuah cerita kepahlawanan. Cerita ini dibuat untuk menentukan bagaimana seharusnya para kepala suku tersebut bersikap di bawah kepemimpinan Daud. Kedua, cerita ini menunjukkan keberhasilan Daud dalam menaklukkan daerah Selatan Palestina yang selama ini berada di bawah kekuasaan para gembala tersebut. Dicatat bahwa para gembala tersebut hidup dan berkuasa di pinggiran Palestina dan perbatasan Israel-Mesir. Dengan melakukan aliansi bersama para tuan kecil tersebut, Daud dapat menghadapi ancaman dari Mesir yang sewaktu-waktu dapat menyerang kerajaan yang baru dibentuknya. Formulasi cerita ini tersebar dalam empat kitab pertama dari Pentateukh yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat dan Bilangan. Dimulai dengan cerita tentang Penciptaan dalam Kejadian 2:4b, lalu dilanjutkan dengan kisah Kain dan Habel, Nuh dan Air Bah, menara Babel, sebagaian besar kisah Abram, Ishak, Yakub, Yusuf, kisah keluaran, dan berakhir dengan cerita tentang Bileam yang memberkati Israel (tidak mengutuk seperti yang diperintahkan oleh Balak) dalam Bilangan 24.[9]

Berkat dan Kutuk sebagai Legitimasi Politik
Kata berkat berasal dari kata Ibrani berakha yang sering di hubungkan dengan karunia benda biasanya material (Il 11:26; amsl 10 : 22, 28 dll). Berkat sering dipertentangkan dengan kutuk (Kej 27:12 Ul 11 : 26-28 dll) dan kadang-kadang dipakai dalam rumusan kata  yang merupakan pemberkatan (kej 27: 36, 38, 41 dll)[10] Istilah berkat juga berasal dari bahasa Latin benedicere ( letterlek: berbicara dengan baik, mengucapkan kata yang baik), demikian juga dalam bahasa Yunani (eulogein) yakni Memberkatai suatu ucapan yang ditujukan kepada Allah atas nama manusia atu kepada manusia atas nama Allah. Dalam beberapa bahasa modern dipakai untuk menyampaikan dua hal, yaitu pujian (Inggris: to praise) dan memberkati (to bless). Kata kutuk sendiri dari bahasa Yunani Anathema aslinya berarti sesuatu yang ditempatkan (di Bait suci) dalam hal ini dapat berarti persembahan yang dinazarkan. LXX sering memakai anathema untuk menyalin kata ibrani kherem yakni sesuatu yang terkutuk, sesuatu yang harus disingkirkan, sesuatu yang harus dimusnahkan secara total (Im 27-28, Bil 21:3).[11]
Motif berkat/kutuk merupakan tema penting PL. Syarat Perjanjian Musa dinyatakan dalam Leviticus 26 dan Deuteronomy 28. Ketaatan akan diberikan berkat sementara. Tidak taat akan mendatangkan kutuk sementara yang akan semakin intensif sampai bangsa itu kembali kepada Tuhan. Ada banyak contoh PL tentang berkat dan kutuk, baik berkaitan dengan bangsa dan individu didalamnya. Seseorang mungkin langsung melihat, Abraham (Gen 24:1; Heb 11:8-19), Moses (Exod 14:30-31; Num 20:12; Heb 11:23-29), peristiwa lembu emas (Exod 32:34-35), Joshua and Caleb (Num 14:30-45), pemberontakan Korah (Num 16), Nadab and Abihu (Lev 10:1-3), Achan (Josh 7:1-26), Gideon (Judg 6:11-28), David (2 Sam 1-10, dibawa berkat; 12-22, dibawa kutuk), Solomon (I Kgs 3:5-15; 4:20-34; 11:1-13), dan kejatuhan kerajaan utara (2 Kgs 17:5-18) dan Selatan (2 Kgs 24:1-25:21). Ini tidak berarti bahwa seluruh berkat dan hukuman dalam PL merupakan hasil langsung dari ketaatan atau ketidaktaatan (cf. Job; Luke 16:19-31; John 9:2-3). Kadang Tuhan mengijinkan orang benar untuk menderita dan orang jahat berkelimpahan. Walau begitu, artinya adalah ketaatan membawa berkat sementara dan ketidaktaatan membawa hukuman sementara. Ini pula rumusan dan pengertian berkat kutuk yang diadopsikan dalam banyak dogma gereja dna kehidupan kekristenan. Pertanyaannya adalah, apakah benar demikian legitimasi atas kata berkat dan kutuk dalam Alkitab?? Bagaimana sebenarnya prespektif berkat kutuk dalam sejarah Yahwist? Mari kita menyimak dari kej 12 : 3.
Berbicara mengenai Kejadian 12:3 maka tidak bisa dilepaskan pada konteks pembicaraan sumber J dari Kejaidan 12:1-4a, dan 6-9.[12] Khusus Kej 12:3, Teks ini berbicara dalam konteks panggilan dan perjalanan Abraham oleh Allah. Bagi Ord dan Coote,[13] J menghadirkan nama Abraham, Ishak, Yakub, dan Yusuf sebagai nenek moyang Israel yang muncul jauh sebelum adanya kerajaan Daud adalah fiktif belaka. Hal ini dilanjutkan oleh Ord dan Coote, nama-nama mereka adalah kepala-kepala suku yang hidup sezaman dengan Daud. Abram, Ishak, Yakub adakah tokoh yang sunguh pernah ada, namun mereja memakai nama yang umum dipakai untuk menamai seorang tokoh. Tuan-tuan kecil yang bermunculan di Israel biasanya memakai nama-nama seperti ini. Cerita tentang mereka, yang dibuat oleh J memang akhirnya mirip juga dengan cerita rakyat (Folklor) yang biasa muncul untuk mengisahkan para pahlawan di masyarakat mereka.
Jadi cerita-cerita J mengisahkan para tuan ini karena mereka saat itu turut menjadi penguasa didalam kerajaan Daud. Cerita-cerita itu dikarang untuk mengisyaraktkan bagaimana seharusnya tuan-tuanitu bersikap dalam negara baru dimana Daud menjadi rajanya itu. Jika Daud mengingikan agar pada para tuannya itu bersikap tertentu kepadanya, ia tidak langsung menitahkannya. Para penulis di istana Daudlah yang menyambung lidah rajanya itu melalui contoh ilustrasi nenek moyang yang bersifat fiktif. Jika seorang dari nenek moyang para tuan kecil itu bersikap seperti dulu kala, tentulah ia kini mesti meniru nenek moyangnya. Karena hanya para ahli itu saja yang dapat menulis, mereka memiliki kuasa untuk menetapkan tradisi seputar kehidupan nenek moyang Israel.
Dalam konteks itulah kehadiran teks Kejadian 12:3, sehingga ayat tersebut kemudian dicaplok sebagai ayat yang memberik legitimasi pemilihan Allah kepada keturunan Israel dan kemudian juga turun dalam kehidupan kekristenan, bagi penulis kita terlalu cepat untuk mengklaim hal tersebut. Ketika meneropong kehadiran teks tersebut, maka sebenarnya teks tersebut berbicara dalam kerangka untuk merangkul suku-suku yang ada di Palestina, termaksud didalamnya suku yang dipimpin oleh sheik Abram, sehingga dengan demikian, Daud selaku raja yang berkepentingan dalam konteks tersebut mendapat legitimasi untuk memerintah dengan aman tanpa ada lagi perlawanan dari susku-suku yang ada di Palestina. Dan tulisan tersebut juga dibuat sebagai sebuah  rangsangan bagi seluruh suku-suku di Palestina bahwa mereka berasal dari satu keturunan karena berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Abram, Ishak, Yakub dan Yususf. Sehingga bila Israel berasal dari satu nenek moyang maka sudah seharusnya kita berjuang melawan negara adi-kuasa Mesir yang kebetulan menjadi musuh dari Raja Daud.
Konsep “semua umat di muka bumi akan mendapat berkat” sebagaimana yang dipaparkan dalam teks bacaan tersebut adalah konsep orang tradisional. Orang tradisional dalam memahami seluruh muka bumi berbeda dengan orang modern saat ini. Orang tradisional memahami seluruh muka bumi hanya terbatas sejauh mata memandang, hal ini dapat dimaklumi karena belum adanya pengembangan ilmu dan teknologi yang dapat memontret keseluruhan keberadaan bumi seperti sekaranrg ini. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa Orang tradisional memahami bahwa seluruh bumi itu hanya sejauh mata memandang, maka orang Israel pada saat itu juga memahami seluruh bumi hanya sejauh daerah-daerah yang mereka kenali, yaitu daerah Palestina, yang oleh Duad untuk kepentingannya diungkapkan sebagai bangsa yang di berkati dan yang terekutuk adalah bangsa Mesir. Hanya sejauh itu konteks teks ini berbicara. Penulis J tidak pernah berkhayal untuk memahami dunia yang besar seperti yang dipahamai oleh kita saat ini. 
Sehingga ungkapan kekristenan saat ini, yang mengungkapkan diri sebagai umat yang diberkati dan yang lain umat goyim adalah keliru. Ungkapan dalam teks ini semata- mata hanya berbicara dalam konteks penyatuan suku-suku bangsa dan wujud perlawanan Daud terhadap Mesir. Ini dipakai oleh Daud untuk melegitimasikan kekuasaan Politiknya di Negeb pada waktu itu. Teks ini sepenuhnya tidak dipakai Daud sebagai ungkapan yang menjadi dasar bentuk eksklusifitas kekristenan sekarang ini.

Penutup
Pengunaan setiap teks kitab suci sebaiknya terlebih dahulu dicari tahu apa konteks pembicaraan di belakang teks tersebut, hal ini penting untuk dilakukan. Karena bentuk-bentuk tafsiran yang mengabaikan konteks yang ada dibelakang teks sering kali membawa kita pada sebuah ajaran yang salah dan sesat. Konflik di Indonesia, banyak terjadi oleh karena masalah eksklusivisme agama. Salah-satu bentuk eksklusivisme yang ada dalam kekristenan bersumber dari Kejadian 12:3. Namun ketika dipelajari, khusunya melalui pendekatan teori sumber maka didapati bahwa teks tersebut hanya berbicara mengenai upaya Daud untuk melegitimasi eksistensi istananya di Israel dengan cara membuat cerita-cerita fiktif bahwa seakan-akan mereka berasal dari saru nenek moyang yang sama sehingga mereka harus bersatu. Bukan dalam konteks menjadi berkat atas seluruh bumi.
Jadi alangkah sedihnya bila kita harus menindas dan membunuh orang lain yang kita anggap kafir karena teks tersebut. Bila Daud masih hidup mungkin Daud akan mengatakan bahwa aku tidak bermaksud seperti demikian hai orang Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

Coote, Robert B. & David Robert Ord, “The Bible’s First History: From Eden to the court Of David with the Yahwist, Philadelphia: Fortress Press, 1989.
Coote, Robert & Marry P. Coote, “Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Gotwald, Norman K., “The Hebrew Bible: A Socio-Loterary Introduction”, Philadelphia: Fortress Press, 1985.
Kung, Hans., “Theology for the Third Millennium; An Ecumenical View”, London: Doubleday, 1988
Ord, David Robert & Robert B. Coote., “Apakah Alkitab Benar ?: Memahami ebenaran Alkitab pada Masa Kini”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998.
Titaley, John A., “Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual: Pidato Pengukuhan Guru Besar”, Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2001.


[2] Penyebutan Israel Alkitab untuk membedakan dengan Bangsa Israel yang diproklamirkan pada tahun 1947.
[3] Pandangan Eksklusivisme dalam tubuh gereja muncul secara nyata melalui keputusan Konsili Vatikan I yang berbunyi: Di luar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nula salus). Lih. Hans Kung, “Theology for the Third Millennium; An Ecumenical View”, (London, Doubleday, 1988), 6-9.
[4] Robert B. Coote & David Robert Ord, The Bible’s First History: From Eden to the court Of David with the Yahwist, (Philadelphia: Fortress Press, 1989), 8-12.
[5]  Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 151.
[6] Robert Coote & Marry P. Coote, “Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar”, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001), 31-7
[7] David Robert Ord & Robert B. Coote., “Apakah Alkitab Benar ?: Memahami Kbenaran Alkitab pada Masa Kini”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 78.
[8] Ibid. 76-7.
[9] Ibid 74.
[10] Eksilopedi Alkitab Jilid 1, Hal 184
[11] Ibid, hal 625
[12] Lihat. Gotwald, Norman K., “The Hebrew Bible: A Socio-Loterary Introduction” 151.
[13] David Robert Ord & Robert B. Coote., “Apakah Alkitab Benar ?, 76-77.

Rabu, 15 Desember 2010

SURGA SEBAGAI UTOPIA YANG DINYATAKAN (sebuah kajian Tesos Gregory Baum)


Pendahuluan
          Berbicara tentang agama adalah hal yang tidak mudah.  Hal tersebut karena berbicara tentang agama tidak hanya mengenai sebuah definisi, namun berbicara tentang suatu eksistensi yang luas dan dalam. Munculnya istilah “sains tentang agama” yang dibicarakan oleh Durkheim yaitu ilmu pengetahuan yang menjadikan agama sebagai obyek materialnya”[1], menunjukan bagaimana orang berusaha untuk memahami agama yang luas dan dalam tersebut.  Dalam buku ini pula Durkeim mencoba menggambarkan perkembangan agama dari yang mendasar sampai bentuknya yang sekarang. Ada banyak sekali pandangan para ahli tentang agama, misalnya menurut Hegel, Agama bisa dikatakan sebagai sumber keterasingan (alienasi), karena Allah yang ada di dalam PL digambarkan terpisah dari kehidupannya di dunia, sebagai sesuatu yang asing, Allah bekerja di atas dan di luar sejarah, Ia memerintah dari atas dan hanya kadang-kadang campur tangan dalam sejarah. hal ini membawa manusia terasing dari alam, dari dirinya sendiri dan dari sesamanya. Marx Waber sebaliknya melihat agama dari sisi sosial dan institusi lalu menilai agama sebagai produk keterasingan.
          Kalau berbicara tentang agama saja sudah merupakan hal yang berat, maka berbicara tentang ajaran-ajaran agama ( tertentu ) lebih menyulitkan lagi. Hal-hal asasi ( dibaca : dogma) dalam ajaran agama merupakan sesuatu yang sangat diimani kebenarannya dan  karena itu di pegang erat sebagai pedoman dari menjalankan perilaku keagamaan. Namun tentu saja ajaran-ajaran tersebut tidak lepas pula dari analisa bahkan kritik. 
Salah satu kritik sekaligus refleksi tentang ajaran-ajaran agama khususnya yang ditujukan kepada kekristenan adalah yang disampaikan oleh  Gregory Baum mengenai Surga Sebagai Utopia yang Dinyatakan (Heaven As Revealed Utopia). Baum berusaha untuk mengkritisi konsep tentang Kerajaan Allah dan pengharapan hidup kekal sebagai utopia yang diimani dalam kekristenan, dan dampaknya bagi kehidupan sosial.
          Kata Utopia berasal dari bahasa Yunani “ού” yang berarti tidak dan  “τόπος” yang berarti daerah atau tempat. Penggunaan paling modern mengasumsikan istilah "Utopia" sebagai tempat yang sempurna dan bukan tempat yang mengandung arti ketiadaan. [2] Utopia, dalam arti luas dan umumnya, menunjuk ke sebuah masyarakat hipotetis sempurna. Dia juga digunakan untuk menggambarkan komunitas nyata yang didirikan dalam usaha menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik namun (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. Utopia dapat berupa idealisme atau praktis, namun istilah ini telah digunakan sebagai konotasi optimis, idealis, tak mungkin kesempurnaan. Utopia sering juga dikontraskan dengan distopia yang tidak diiinginkan (anti-utopia) dan juga utopia satirikal.
          Istilah Utopia ini kemudian menjadi nama sebuah masyarakat ideal, diambil dari judul buku yang ditulis tahun 1516 oleh Sir Thomas More menjelaskan tentang sebuah pulau fiksi di samudera atlantik, memiliki sistem hukum sosial politik sempurna. Istilah ini dipakai untuk menyatakan sebuah masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat ideal, dan masyarakat fiksi dalam sastra. Utopia sering digunakan sebagai peyoratif, merujuk pada ideal unrealistik yang mustahil untuk dicapai. [3]

Dasar Doktrin Eskatologi (kehidupan kekal)
Menurut Baum, Doktrin tentang kehidupan kekal muncul karena adanya ketakutan terhadap kematian pribadi. Pandangan para bapak gereja sesuai dengan tradisi kuno yaitu bahwa setelah kematian, jiwa akan berpisah dengan raga dan akan bertemu dengan Tuhan untuk mengalami penghakiman tertentu. Doktrin kehidupan kekal dipahami secara  eksklusif dalam kerangka nasib, dimana hanya menunggu secara individual sampai kematian menjemput. Orang Kristen diyakini sedang berziarah dalam hidup ke arah nasib setelah kematian tubuh.
Namun kemudian pandangan ini berubah pada zaman modern, dimana  umat Kristen tidak lagi menganggap atau mengalami diri mereka sebagai peziarah. Sebaliknya, umat menganggap masyarakat dimana mereka berada, termasuk gereja di dalamnya, sebagai elemen yang ikut ambil bagian dalam rencana keilahian (divine plan) yang mengurangi perjalanan (petualangan) personal dari kelahiran sampai kematian. Gereja dan masyarakat adalah panggung yang yang tidak berubah dimana orang mengerjakan keselamatan pribadi mereka. Walau begitu kematian tetap dianggap menjadi akhir dari perjalanan dan keselamatan menjadi janji yang seseorang dapatkan sebagai kebahagiaan setelah kematiannya.
Pengaruh individualisme dalam budaya sekuler. juga mengakibatkan orang fokus pada kematian. Kematian menurut Heidegger akan muncul dalam seluruh kehidupan manusia dan menghasilkan penderitaan metafisis yang kemudian mengungkapkan sifat dasar manusia. Menurut Peter Berger, penderitaan metafisis ini, ketakutan akan kematian dan kengerian ini adalah yang menghasilkan kekuatan yang membuat orang mencari dunia yang aman dan stabil. Yang terjadi kemudian adalah manusia menciptakan simbol-simbol suci yang melegitimasi janji ketertiban dan keamanan masa depan. Agama kemudian diciptakan sebagai jawaban atas kematian pribadi dan jawaban atas kecemasan yang menghasilkan kekuatan.

Sikap Terhadap Kematian yang bergantung pada Imajinasi Masa Depan
Baum melihat bahwa sikap terhadap kematian sangat dipengaruhi oleh imajinasi seseorang tentang masa depan. Misalnya seorang yang mau mati di medan perang. Menurut Baum, orang-orang (di era nasionalisme dan konflik-konflik yang menyertainya) yang maju dalam peperangan diselimuti dengan imajinasi tentang masa depan dan perkembangan bangsa dan negara mereka. Hal ini membuat mereka tidak takut untuk mati ketika dihadapkan dengan kematian dalam perjuangan seperti ini. Baum mengutip yang dikatakan oleh Herbert Marcuse  “orang dapat mati tanpa kecemasan jika mereka tahu bahwa apa yang mereka cintai dilindungi dari kesengsaraan dan keterlupaan.” Dengan demikian, jika objek yang dicintai dilindungi dari bahaya dan kesejahteraannya dijamin maka kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi kematian bukanlah sumber kesedihan. Tetapi jika kita mengasihi diri kita sendiri, dan imajinasi masa depan kita dilingkarkan pada kesejahteraan pribadi kita sendiri maka kematian menjadi sesuatu yang ditakuti.
Pernyataan kritis Marcuse ini jika diterapkan dalam iman Kristen maka akan berbunyi “Jika kita merindukan kerajaan Allah dan kemenanganNya atas iblis (kejahatan) dan semua musuh-musuh kehidupan dan percaya bahwa di dalam Kristus kemenangan ini terjamin, maka apa yang kita cintai dilindungi dan membuat kita tidak sulit untuk menerima kematian.  Dengan melihat hal ini, Baum menyimpulkan bahwa ajaran Kristen tentang hidup yang kekal bukan membuat seseorang fokus pada kematian mereka sendiri dan kuatir tentang apa yang terjadi kepada mereka setelah mereka mati, tetapi lebih sebagai kekuatan yang membebaskan mereka untuk lebih saling mencintai dan menimbulkan kerinduan untuk berdamai dengan orang lain. orang tidak lagi berkonsentrasi pada surga mereka sendiri, tetapi ajaran mengenai kerajaan Allah ini mengajak orang untuk melupakan diri mereka sendiri, untuk bersukacita dalam komunitas kristen. Beberapa penulis rohani kontemporer juga menganggap penting kehidupan pribadi bersama Allah sebagai dasar bagi suatu kehidupan yang tidak akan pernah mati. Mereka memahami kehidupan pribadi ini sebagai partisipasi dalam masyarakat.

Makna Utopia Dalam Teori dan Filsafat Sosial
Pada abad ke-20, para Teolog melakukan dialog dengan Sosiologi sehingga memungkinkan para Teolog Kristen untuk mendapatkan kembali pemahaman eskatologi yang memelihara pribadi dan dialektika sosial, serta memberikan ajaran utopis Kristen yang memberi daya dorong.
          Ada 2 ahli yang dibicarakan dalam bagian ini yaitu Karl Mannheim dan Ernest Bloch. Karl Mannheim memakai frase “Injil sebagai Utopia”. Ia menawarkan untuk membantu kita membedakan istilah ideologi dan utopia. Sosiologi pengetahuan ini juga membuat kita belajar untuk mendeteksi kecenderungan utopis dalam agama Kristen. Dengan ini kita menemukan alat-alat konseptual untuk mengevaluasi imajinasi keagamaan dari masa depan seseorang dan untuk mendeprivatisasikan ajaran gereja mengenai hidup kekal.
           Ernst Bloch telah menerbitkan dua studi mengenai semangat utopia yang salah satunya berhubungan dengan doktrin Kristen mengenai Kerajaan Allah. Bloch memakai tokoh Thomas Muenzer untuk menggambarkan bagaimana hubungan antara kehidupan kekal Kristen dengan sisi politik dunia kekinian. Bloch mengatakan bahwa ajaran Kristen tentang kehidupan kekal, dalam bentuk apapun, memiliki arti politik dan dalam beberapa kasus, bahkan memiliki efek politik. Bloch  menampilkan semangat Muenzer sebagai daya pendorong untuk visi eskatologis masa depan. Bagi Bloch, Muenzer tidak dapat dipisahkan dari ia sebagai tokoh pemberontak politik dan juga sebagai tokoh agama. Muenzer memperhatikan keadilan sosial ketika ia sangat prihatin dengan kemuliaan Allah, dan ia tetap religius ketika ia melampiaskan kebencian kepada kelas yang berkuasa di gereja dan masyarakat. Inti pengajaran Muenzer adalah pengharapan eskatologis bahwa Tuhan sudah dekat dan keputusan ilahi telah dinyatakan atas masyarakat yang berdosa dan Tuhan akan menunjukkan kemenanganNya dalam membebaskan umatnya dari tekanan dan ketidakadilan.

Bloch membahas  topik yang sentral dalam karya filosofisnya, yaitu peran kreatif yang dimainkan oleh mimpi, puisi, dan harapan-harapan keagamaan dalam pembuatan sejarah. Baginya sejarah mempunyai asal dalam imajinasi manusia. Kenyataannya belum selesai, masih dalam pembuatan. Masa depan dinilainya tidak pernah dibuat menurut hukum tetap; masa depan tetap terbuka, hal itu dihasilkan oleh sebuah proses yang melibatkan kebebasan orang dan imajinasi mereka. Bloch menulis tentang dunia yang belum selesai melahirkan masa depan, tentang proses yang tersembunyi yang mana kekuasaan hadir dalam realitas sekarang ini diproyeksikan ke masa depan, dan tentang peranan harapan dalam mengarahkan penciptaan yang baru.
Bloch membedakan utopia menjadi 2 yaitu utopia yang konkrit dan yang abstrak. utopia abstrak ( peyoratif ) membuat manusia menjadi pasif dan hanya menunggu datangnya apa yang ia harapkan. Sedangkan utopia konkrit ( praksis ) memberikan daya dorong bagi manusia untuk berusaha mewujudkan apa yang diharapkan dalam hidup kekinian. Utopia disebut sebagai utopia abstrak ( peyoratif ) ketika utopia tersebut membuat orang bersifat pasif, artinya hanya menanti perwujudan dari harapannya, tidak merasa mempunyai tanggung jawab untuk berusaha dalam mewujudkan harapan tersebut. Sikap yang pasif juga mendorong orang terlena dengan keadaannya (bersikap menerima, menyetujui dan mempertahankan keadaan walau sangat sulit), kehilangan kepekaan terhadap dunia sekitar, dan hilang kepedulian. Orang-orang seperti ini kemudian menjadi tidak kritis karena tidak merasa perlu memberikan sumbangsih bagi keadaan dunia sekarang. Utopia disebut sebagai utopia kongkrit ketika orang terlibat aktif dalam perwujudan harapannya, mendorong dirinya untuk berpartisipasi ditengah dunia, dan karenanya mempunyai kepekaan dalam memandang sesuatu, lalu membangun sikap kritis guna dapat memberikan sumbangan bagi dunia/masyarakat di mana dia hadir.

Kerajaan Allah sebagai utopia yang dinyatakan
Baum mengklaim bahwa ajaran gereja mengenai Kerajan Allah dan hidup abadi adalah sebuah Utopia yang dinyatakan. Amanat kerajaan yang sebagian hadir diantara kita dan masih sedang mendekat dalam segala kekuatannya, menawarkan  sebuah visi masa depan di mana orang-tinggal dalam keadilan dan kedamaian, menyatu dalam persahabatan dan penyembahan bersama kepada Tuhan yang misteri (ibadah keagamaan). Kerajaan Allah tidak dibayangkan sebagai penaklukan oleh sebuah dunia superior tetapi sebagai penyelesaian dari kebebasan yang siap-siap dimulai, sebagai perwujudan yang nampak dari anugerah ketuhanan yang sekarang berpengaruh dalam upaya orang-orang untuk menciptakan persaudaraan dalam masyarakat.
Hal tersebut kemudian membuat orang-orang berpikir kritis mengenai institusi-institusi sekarang ini untuk (demi kerinduan) memperoleh keadaan sosial yang lebih adil dan setara. Karena itu amanat hidup abadi ini adalah sebuah Utopia (khayalan) yang konkrit (bukan sebuah mimpi yang abstrak) karena janji-janji ini dibuat agar kota sorgawi ini terus menerus memberi /membangkitkan pemikiran-pemikiran apa yang harusnya terjadi /berlaku pada saat ini untuk (supaya) membuat masyarakat lebih benar-benar manusiawi. Amanat eskatologikal ini memimpin pada aksi sosial. Dengan memahami amanat kerajaan Allah, akhirnya memberi kekuatan kepada manusia  untuk berbuat sesuatu. Dalam hal ini maka utopia kerajaan Allah ini adalah sebuh utopia konkrit, bukanlah yang abstrak. Ini bukan sekedar ideologi. Amanat ini tidak bernyawa (dan idiologikal) jika hanya dianggap sebagai doktrin. Amanat ini akan menjadi hidup dan terus hidup (dihidupkan) hanya ketika diijikan untuk memerintah /mengendalikan imajinasi gereja sebagai symbol dan kemudian (hingga) masuk kepada penyelamatan (penebusan) sejarah.
Baum mengangkat peran gereja dalam politik untuk menggambarkan peran Gereja dalam menghadirkan Utopia konkrit tersebut. Menurutnya, dalam hal ini gereja harus memainkan peran politik untuk membebaskan, gereja harus memainkan sebuah peran kritis, memeriksa makna-makna yang diadopsi dan mengevaluasi cita-cita (idealis) kehidupan manusia yang sedang diusulkan khususnya jika pergerakan pembebasan menjadi sukses dan mengambil alih peranan dalam negara tertentu. Gereja harus tetap mawas bahwa utopia keadilan sosial tidak bergantung pada ideology dari yang menang dan membela atau mempertahankan kekuasaan namun  melawan tuntutan-tuntutan yang layak dari kaum miskin dan marginal. Menurut Baum, gereja harus memasukan perhatian kritik social, menempatkan bobot institusionalnya pada sisi emansipasi, dan dengan tepat mengajarkan injil yang mengubah (bersifat transformis) maka orang-orang akan memilih apa yang mereka anggap sebagai bagian tanggung jawab dari tindakan politis.
Untuk dapat menjadi gereja yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat, dan mempertahankan solidaritas dengan sesama, maka menurut Baum, Gereja harus tetap memiliki akses kepada roh yang menjaga spiritual tetap hidup dan yang mengirimkan spiritual bagi misi kebumiannya.
Kekristenan sudah seharusnya melihat doktrin kerajaan Allah dan hidup abadi dalam kacamata utopia kongkrit. Utopia seperti ini akan menjembatani apa yang menjadi iman Kristen dengan dunia (social kemasyarakan ) yang mana gereja hadir. Gereja Kemudian dapat memberikan sumbangannya untuk sesama, serta pemikiran-pemikiran ( tindakan-tindakan) yang kritis dalam melihat berbagai hal. Dari zaman Alkitab hingga sekarang ini, masih ditemukan orang-orang Kristen yang hidup dengan pandangan utopia abstrak. Misalnya, seorang yang sakit, namun tidak mau berupaya ke dokter karena beriman bahwa Tuhan akan menyembuhkan, atau, seorang siswa yang berdoa supaya dapat naik kelas namun tidak mau untuk belajar. Dewasa ini masih ada pula gereja yang melihat dunia tanpa sikap kritis, beranggapan bahwa segala ketimpangan social-ekonomi, persoalan lingkungan, kepemimpinan politik, sebagai hal-hal yang  harus diterima apa adanya, sebagai yang sudah seharusnya. Umat dididik untuk hanya menerima berbagai hal dengan ucapan syukur kepada Tuhan. Memang kelompok menyadari bahwa sikap seperti itu tidak dilakukan oleh gereja secara keseluruhan karena ada pula gereja yang terlibat aktif dalam kepedulian lingkungan, sumbangan bagi orang miskin, dukungan bagi pemerintah dan programnya, dll. Dengan begitu maka  Pemahaman bahwa penantian akan Kerajaan Allah dan kehidupan nanti yang bersifat kongkrit kiranya dapat dijadikan bahan ajar ( khotbah ) bagi para pemimpin gereja (umat) sehingga membangun solidaritas umat yang inklusif, yang mampu untuk mewujudnyatakan Kerajaan Allah itu di dunia. Hal ini kemudian akan melahirkan misi yang baru, yang tidak hanya terbatas pada penambahan jumlah umat misalnya. Keterpanggilan untuk menjadikan “dunia ini menjadi lebih baik” adalah cara kita dalam menyatakan bahwa Kerajaan Allah itu sungguh ada dan nyata. Dengannya maka kita juga menunjukkan bahwa kehidupan kekal itu sudah menjadi bagian dalam dari kita.


KEPUSTAKAAN
Gregory Baum, Religion and Alienation (New York: Paulist Press,) 1975
____________, Faith and Doctrine; A Contemporary View (New York: Newman Press), 1969
Emile Durkheim, Sejarah Agama : T he Elementary Form of The Religion Life, (New York :Free Press),1992






[1] Emile Durkheim, Sejarah Agama : T he Elementary Form of The Religion Life, (New York :Free Press,1992), 21

Minggu, 12 Desember 2010

BER-TEOLOGI SOSIAL DALAM KONTEKS INDONESIA (Sebuah Kajian Kritis Tesos)



PENGATAR
Menurut hemat saya, Teologi dan Sosial adalah dua kata yang tidak dapat dilepas-pisahkan tetapi saling kait mengkait. Orang tidak mungkin dapat berteologi tanpa lingkungan dan situasi sosial yang menjadi latar belakangnya. Bagaimana mungkin ornag dapat berteologi tanpa mengetahui realitas sosial terlebih dulu. Bagaimana orang dapat membangun refleksi tentang Allah dalam kehidupannya jika ia tidak melihat kondisi dan situasi sosial masyarakat terlebih dahulu. Sebab jika tidak demikian, orang tidak mungkin akan membangun sebuah refleksi teologi yang kontekstual dan yang menberi jawaban atas masalah-masalah masyarakat.
Realitas Indonesia sendiri, adalah realitas yang plural, yang majemuk. Sudah pasti banyak masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik yang menyangkut individu sendiri maupun yang secara bersama menyangkut kelompok dan masyarakat secara luas. Tidak mudah untuk mengatasi berbagai problem sosial dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, seperti yang dialami di Indonesia ini. Perlu sekali ada upaya-upaya yang cermat dan tepat untuk mengatasi berbagai masalah sosial tersebut.
Berteologi sosial, mungkin adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai persoalan sosial dalam masyarakat Indonesia. Setidaknya ada pikiran-pikirna kritis dan ide-ide baru yang baik, yang dapat dihasilkan melalui sebuah proses teologi sosial yang baik. Pertanyaannya adalah Bagaimana cara kita membangun teologi dalam kondisi sosial Indonesia?? 


HUBUNGAN TEOLOGI DAN SOSIAL
Sebelum kita membahas hubungan yang terjalan antara teologi dan sosial dalam upaya melakukan sebuah refleksi teologi sosial dalam konteks Indonesia, akan sangat baik jika kita melihat terlebih dulu apa itu sebenarnya teologi dan sosial. Dari pengertian ini barulah kita menarik hubungan di antara keduanya.
Kata Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan", + λογια, logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi dapat dipelajari sekadar untuk menolong sang teolog untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, atau untuk menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi atau dengan maksud untuk melestarikan atau memperbarui suatu tradisi tertentu, atau untuk menolong penyebaran suatu tradisi, atau menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya. [1]
Kata 'teologi' berasal dari bahasa Yunani klasik, tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata itu diambil dalam bentuk Yunani maupun Latinnya oleh para penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini, khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen. Namun demikian, di masa kini istilah ini dapat digunakan untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen sendiri disiplin 'teologi' melahirkan banyak sekali sub-divisinya.
Pada Abad Pertengahan, teologi merupakan subyek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa disebut sebagai "The Queen of the Sciences". Dalam hal ini ilmu filsafat merupakan dasar yang membantu pemikiran dalam teologi. Istilah theologia digunakan dalam literatur Yunani Klasik, dengan makna "wacana tentang para dewa atau kosmologi" (lihat Lidell dan Scott Greek-English Lexicon untuk rujukannya). Aristoteles membagi filsafat teoretis ke dalam mathematice, phusike dan theologike. Yang dimaksud dengan theologike oleh Aristoteles kira-kira sepadan dengan metafisika, yang bagi Aristoteles mencakup pembahasan mengenai hakikat yang ilahi. Sejak itu istilah ini telah diambil oleh berbagai tradisi keagamaan Timur maupun Barat.

Sosial sendiri adalah kata yang berhubungan erat dengan kemasyarakatan. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian Yakni : [2]
·         Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan.
·         Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas (community).
·         Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
·         Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial.
·         Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Kata Sosial merujuk juga kepad sebuah kondisi atau keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap anda bertemu orang meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika anda sedang menelpon, atau chatting (ngobrol) melalui internet. Pun bahkan setiap kali anda membayangkan adanya orang lain, misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman, membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang, semuanya itu termasuk sosial.  Aristoteles, sang filsuf Yunani mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir semua aspek kehidupan manusia berada dalam situasi sosial.[3]
Mahkluk sosial dalam berbagai situasi sosial selalu melakukan tindakan-tindakan sosial. Tindakan sosial adalah bagian dari perilaku sosial. Perilaku sosial sendiri adalah perilaku yang terjadi dalam situasi sosial, yakni bagaimana orang berpikir, merasa dan bertindak karena kehadiran orang lain. Pertama, berpikir dalam situasi sosial. Kedua, merasa dalam situasi sosial. Ketiga, bertindak dalam situasi sosial. Inilah langkah kongkret anda yang bisa dilihat orang lain dalam situasi sosial. Mungkin anda menolong orang yang jatuh dari sepeda motor. Mungkin anda mengajak bersalaman dan berkenalan dengan orang yang baru anda temui. Mungkin anda memaki orang yang menyusahkan anda. Mungkin anda menyebarkan kebohongan. Mungkin anda mendatangi undangan pernikahan, atau yang lainnya. Sangat beragam bentuk-bentuk tindakan sosial manusia.
Ada empat bentuk situasi sosial.
·      Pertama, adanya kehadiran orang lain yang dapat diindra namun tanpa interaksi.
·      Kedua, adanya kehadiran orang lain yang dapat diindra dan ada interaksi dengannya. Istilah lainnya adalah interaksi sosial.
·      Ketiga, imajinasi akan adanya kehadiran orang lain.
·      Keempat, adanya kehadiran orang lain melalui media tertentu yang anda ketahui dan kehadirannya mempengaruhi anda.
Interaksi sosial adalah keadaan dimana seseorang melakukan hubungan saling berbalas respon dengan orang lain. Aktivitas interaksinya beragam, mulai dari saling melempar senyum, saling melambaikan tangan dan berjabat tangan, mengobrol, sampai bersaing dalam olahraga. Termasuk dalam interaksi sosial adalah chatting di internet dan bertelpon atau saling sms karena ada balas respon antara minimal dua orang didalamnya.

Teologi dan sosial selanjutnya memiliki hubungan yang sangat erat. Sebuah teologi hanya akan relevan dan kontekstual jika dibangun berdasarkan sebuah realitas sosial.
Dipandang dari segi sosiologi agama, fenomena agama adalah fenomena kemasyarakatan. agama merupakan bagian dari masyarakat. Itu berarti masalah-masalah sosial adalah juga masalah-masalah agamis, yang harus dipecahkan dan dicari solusinya. Salah satu caranya adalag dengan melakukan refleksi teologis yang didsarkan pada konteks-konteks sosial tersebut. Karena itu, menurut saya Teologi dan sosial memiliki hubungan timbal balik yang kuat, ibarat dua sisi mata uang yang tak pernah dapat berpisah, demikian teologi dan sosial.
Banyak orang ang membangun refleksi teologi berdasarkan konteks-konteks sosial mereka, ada teologi minjung di korea, teologi pembebasan di Amerika latin, Black Teologi di AFrika dan lainnya. Semua Refleksi teologi ini dibangun berdasarkan kenyataan sosial masyarkaat setempat. Pertanyaannya, bagaimana kita membangun teologi sosial di Indonesia tercinta ini???


MEMBANGUN TEOLOGI DALAM KONTEKS SOSIAL INDONESIA
Pada bagian ini, saya akan memulai dengan 3 kata “Kebenaran, Keadilan dan Damai Sejahtera”. Kebenaran mendatangkan keadilan yang menghasilkan Damai Sejahtera. Damai Sejahtera hanya akan ada dalam kehidupan jika ada keadilan untuk semua orang; jika semua orang merasa adil; jika semua orang berbuat adil dan jika semua orang mau berlaku adil. Orang dapat merasakan keadilan kalau ada kebenaran; kalau kebenaran dijunjung tinggi dan kalau semua orang mau hidup benar. Jadi pada dasarnya ketika ada kebenaran maka disitu ada keadilan; dan jika keadilan telah ada maka damai sejahtera tercapai.
Pertanyaannya apakah di Indonesia yang tercinta ini ada damai sejahtera untuk seluruh masyarakat; apakah semua orang melakukan keadilan dan hidup dalam kebenaran??? Saya kira inilah bahan gumulan dan refleksi  kita sebagai masyarakat Indonesia sepanjang kita hidup dan berkarya….
Pertama kebenaran. Mari kita memilah secara bersama, kebenaran di Indonesia. Saya tidak akan merunut pengertian kebenaran dari  berbagai ahli atau berbagai ilmu, hanya kebenaran versi KBBI. Kata ‘kebenaran’  menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: Keadaan (hal dsb)  yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya; sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar ada);  kelurusan hati, kejujuran dan seterusnya. Jadi simpelnya kebenaran berkaitan erat dengan kejujuran. Di Indonesia kecenderungan melakukan kejujuran sangat kecil apalgi kebenaran. Contoh kongkritnya,praktek KKN dimana-mana, pencurian, praktek mafia hukum semuanya berpangkal pada ketidakjujuran.
Kemudian keadilan. Keadilan pada hakekatnya adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan haknya; Keadilan merupakan prinsip, norma, atau sikap, yang menuntut persa­maan. Dalam pengertian ini keadilan sama dengan asas demo­krasi sebagai suatu cita-cita. Ini aspek yang bagi saya sama sekali tidak ada dalam Indonesia. Memang setiap orang Indonesia selalu memperjuangkan keadilan, tapi tak pernah menemukannya karena ketidakadilanlah yang mendominasi nuansa hidup masyarakat Indonesia. Contohnya saja adalah dalam hukum. Katanya Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum sementara praktek mafia hukum begitu kental terasa dalam hukum negeri ini. Orang yang salah, dibebaskan sementara orang yang benar dipenjarakan, rakyat kecil yang  mungkin saja melakukan sebuah kekeliruan kecil hanya untuk mencari makan, emncari sesuap nasi, di hukum secara berat (dipenjara dan ganti rugi) sedangkan seorang koruptor yang menghabiskan uang negara atau orang kaya yang menyiksa dan melakukan kesaksian palsu terhadap orang lain malah dibiarkan bebas dan berkeliaran. Yah semboyan dalam hukum Indonesia kan “asal ada uang, semua beres. Asal duit banyak, silahkan anda bebas”. Masih ada yang lain lagi, orang yang sudah punya dan telah tercukupi masih mau juga mengambil bagian orang lain, yang sudah semakin menderita. Dimana-mana yang adil itu, jika roti 4 untuk dimakan 4 orang, masing-masing memakan satu roti. Tapi di Indonesia kita yang tercinta ini, 3 orang makan 1 roti sedangkan 1 orang makan 3 roti, tergantung siapa yang punya uang dan berkuasa. Bagaimana mungkin akan ada kebenaran jika ketidakadilan terus terjadi??
Terakhir Damai yang mendatangkan kesejahteraan atau damai sejahtera. Kondisi ini hanya untuk sebagian orang saja, untk orang kaya, orang yang mapan, pejabat dan lainnya. Untuk rakyat kecil bahkan sama sekali tak ada kedamaian. Makan aja sulit, tidur aja susah, bagaimana mungkin merasakan damai sejahtera?? Di daerah-daerha yang jauh terus terjad kerusuhan baik antar etnis pun agama, bencana alam silih berganti, kemiskinan yang tinggi, kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak dirasakan semua orang, pengemis dan pemulung berserakan di seluruh pelosok negeri iuni, belum lagi hukum yang timpang sebelah. Sudah pasti kita tak akan pernah menemukan damai sejahtera dalam realitas seperti ini??
Pertanyaannya kemudian bagaimana seharusnya kita berteologi sosial dalam konteks kita Indonesia?

Gambar 1[4]

Gambar 2[5]


Gambar 3[6]


                                                                          Gambar 4[7]


Gambar 5[8]





Gambar  6[9]


                                                            Gambar 7[10]





Mudah untuk menjawabnya. Berteologi dalam realitas kemiskinan yang mendominasi masyarakat kita dengan memberdayakan mereka untuk kehidupan yang lebih baik; menghargai masing-masing orang dengan haknya masing-masing, jika sudah cukup jangan lagi mengingini punya orang lain yang sebenarnya tidak mencukupi hidupnya; segala bentuk praktek KKN yang harus dihentikan agar supaya uang yang untuk kebutuhan rakyat dipakai bagi rakyat; kesehatan, pendidikan dan pekerjaan yang baik bagi setiap orang agar semua orang merasakan kehidupan yang baik; Hukum yang harus berlaku adil dan jujur supaya tidak ada ketidakadilan; hargai perbedaan dengan orang lain karena setiap orang berbeda tidak pernah sama, beda agama, beda suku, beda etnis dan budaya, beda wajah dan warna kulit tapi disitulah kita menjadi unik sebagai sebuah bangsa; hentikan kekerasan dalam rumah tangga karena setiap anggota keluarga adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga dan disayangi; menjaga dan memelihara alam dan lingkuangan sekita, jangan menebang pohon sembarang, jangan menambang sembarangan hanya untuk diri sendiri akibatnya banjir, tsunami, tanah longsor, gunung berapi; perhatikan nasib para TKI jangan hanya mau debisa negara saja yang bertambah dan lain sebagainya. Jika kita memperhatikan hal-hal ini dan mencari jalan keluar terhadapnya, pada saat itulah kita telah ber-teologi sosial di Indonesia tercinta ini. Dan ketika semua itu kita lakukan, lambat laun akan ada kebenaran, kemudian keadilan dan menghasilkan damai sejahtera untuk Indonesia.  Semoga kita semua diberikan pikiran yang menggugah untuk Indonesia yang lebih baik.
Salam.



[1] Pengertian kata Teologi dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi
[4] Lingkungan yang telah gersang dan tandus akibat pemalakan liar dalam hutan-hutan Indonesia
[5] Anak-anak yang lapar karena kekurangan gizi dan makanan
[6] Kerusuhan yang mendatangkan kematian
[7] Kekerasan dalam rumah tangga
[8] Keankeragaman kita yang harus dijaga
[9] Gambar kemiskinan yang merajalela
[10] Gambar bencana alam